Saturday, June 13, 2009

SEBUAH PEMIKIRAN MENYOROTI BISNIS PAMERAN, KONVENSI & LINGKUNGANNYA

(Bagian 2)

Nah, kalau semua pengusaha kita seperti ini, mau jadi apa bisnis MICE kita? Di sisi lain kita juga harus mengakui ketinggalan kita di bandingkan negara tetangga. Program “Visit Malaysia” dan “Uniquely Singapore” ditata dengan organisasi yang rapi, perencanaan yang seksama, anggaran yang didukung oleh berbagai sumber yang andal, campur tangan pemerintah sebagai fasilitator yang bisa diandalkan dlsb. Kalau tidak, apa sih untungnya jadi tuan rumah balapan Formula 1? Jadi tuan rumah F1 itu bayarnya mahal sekali kepada sang promotor/pemilik lomba. Singapore hanya mengkalkulasi keuntungan justeru bukan dari lombanya sendiri. Tetapi dari keuntungan materi dan non-material yang diperoleh negara, dan seluruh jaringan bisnis yang ada (restaurant, shopping entertainment, souvenirs, dll.)

Coba simak rencana kerja mereka berikut ini (ini padahal data tahun 2007-2008):

Future enhancements of Singapore’s MICE space and facilities 

Mega tourism projects such as the Integrated Resorts (IRs) for example, due to open in 2009 and 2010 respectively, will transform the business travel and MICE landscape in Singapore. 


Marina Bay Sands 
Slated to open in 2009, Marina Bay Sands will boost Singapore’s MICE capability with more than 100,000 square-metres of MICE space including 89,000 square-metres of exhibition and meeting room space, and a 9,200 square-metre column-free Grand Ballroom that can hold 8,000 people and which will be one of the largest in Asia. 
MICE facilities in Marina Bay, such as Marina Bay Sands and Suntec Singapore International Convention and Exhibition Centre, are collective enablers to help us realise our larger vision of transforming Marina Bay into an Integrated Convention & Exhibition cluster. 
With the Marina Bay Sands and other future MICE developments, we can look forward to a combined meeting space of 200,000 square-metres supported by an inventory of 10,000 hotel rooms and dynamic events, entertainment, retail and F&B offerings all within walking distance and set in the visually stunning Marina Bay. 

Resorts World at Sentosa 
Sentosa Island will host the second Integrated Resort, Resorts World at Sentosa, which will position Singapore as a fun and exciting family and incentive travel destination. 
Scheduled to open in 2010, Resorts World at Sentosa is developed by Resorts World at Sentosa Pte Ltd, a Joint Venture Company between Genting International and Star Cruises. 
Housed within Resorts World at Sentosa are Meetings and Incentive facilities with the ability to host approximately 12,000 delegates in three key venues: Le Vie Showroom/Plenary Hall (1,600 theatre-style seating), Ballroom (7,300 theatre-style seating) and 22 meeting rooms that can accommodate a total of 3,390 seats. 

For incentive travel groups, there are seven indoor incentive venues within Resorts World, such as Broadway Theatre, Movie Studios, Snoopy’s Stage and Waterworld Amphitheatre. There are also 10 outdoor incentive venues, which include The Showplace, The Bull Ring and FestiveWalk. 
(Source: BT MICE Fact Sheet)

Di Indonesia, masih sangat sedikit peminat investasi di bisnis ini, kecuali menjadi perusahaan penyelenggara (organizer). Jarang ada yang memperhatikan peluang bisnis lainnya di dalam sektor ini. Sebut saja misalnya venue owner (yang ini peminatnya timbul tenggelam), event risk & crowd management (di Indonesia rasanya belum ada, padahal sudah cukup banyak event di Indonesia yang menghasilkan korban kelalaian event risk & crowd management plan yang sembrono). Di sektor venue owner, sudah ada perusahaan penyelenggara yang mengarahkan bisnisnya ke konglomerasi industri. Ini cukup mengagumkan. Mereka memulai usahanya di sektor penyelenggara pameran, yang kemudian dengan didukung oleh pemilik modal yang besar, kemudian mampu mengambil alih perusahaan konstruksi bisnis pameran, mengelola gedung pameran & konvensi, melahirkan perusahaan media di bidang bisnis ini, dan kemudian melangkah untuk mendirikan sendiri gedung pameran dan konvensi. Tidak ada yang salah dari langkah ini. Ini adalah langkah berbisnis yang sesungguhnya. Tidak semua orang bisa, tetapi patut dijadikan benchmark.

Memasuki tahun 2009 – tahun pesta demokrasi Indonesia – kita boleh bertanya kepada diri kita sendiri sebenarnya. Apakah kita akan duduk berdiam diri menunggu? Atau proaktif berkreasi? Yang namanya kreasi tidak harus fenomenal, megah, heboh atau glamour. Ada sebuah perusahaan kecil di Jakarta yang didirikan oleh 3 orang professional dari ‘dunia lain’. Yang 1 seorang psikolog, yang 1 seorang dokter umum, yang 1 seorang dokter kehamilan. Beberapa teman mereka yang mengalami berbagai ‘ombak dan tsunami” di dalam kehidupan bahtera keluarga sering duduk mengobrol bersama. Akhirnya di medio tahun 2007 mereka mencoba membuat seminar sehari tentang harmonisasi berkeluarga. Topik yang diangkat kebanyakan sensitive. Seminar tidak pernah dipublikasikan secara umum. Publikasi (atau kalau mau disebut promosi) dilakukan dari mulut ke mulut, atau kepada orang-orang tertentu saja yang dikenal baik. Biaya seminar jutaan rupiah. Peserta seminar rata-rata 8-12 pasutri. Kalau tadinya cuma ‘jajal jajal’, sekarang sudah routine job mereka dan dikelola secara professional. Tahun 2008 kalau tidak salah mereka menyelenggarakan sekitar 9 seminar, dan untuk tahun 2009 sudah ada 4 yang confirm date. Apa yang unik di sini?

Orang-orang ini ternyata tidak bermimpi terlampau tinggi. Mereka hanya berfikir, bahwa banyak orang lain yang memerlukan bantuan dan tempat ‘curhat’ yang dipenuhi privacy, exclusivity, dan terjaga kerahasiaannya. Dan mereka memberikan apa yang dibutuhkan.

Contoh lain – seorang teman di Yogya menyelenggarakan pameran foto hitam putih khusus tentang erupsi gunung Merapi. Tempatnya? Sepanjang Malioboro, dari stasiun Tugu sampai Kantor Pos di sebelah Utara. Ingat pameran foto bertema pollutiography di Jakarta beberapa tahun yang lalu? Venue nya di semua busway shelter sepanjang Koridor 1? Ingat Jember Fashion Festival yang kini masuk international calendar of event? Belum lagi berbagai hallmark events di Indonesia yang belum dikembangkan sebagaimana mestinya.

Masih banyak contoh kreativitas sebenarnya. Sebagai pengamat, pemerhati dan penilik, saya bisa menikmati banyak hal di bisnis ini tanpa harus terlibat langsung di dalamnya. Kadang kala terlibat justeru di kegiatan yang sangat memerlukan kreativitas. Kegiatan apa? Menyusun konsep awal, menyiapkan ERFP (event request for proposal), TOR (term of reference), membantu penyusunan RKS dan KAK (Kerangka Acuan Kerja) pelelangan berbagai event sektor pemerintah maupun organisasi domestik dan internasional dlsb.

Di tahun 2010, saya mencatat cukup banyak international event yang akan diselenggarakan di Indonesia. Di sektor konvensi saja, lebih dari 10 international convention akan diselenggarakan di Indonesia. 3 di antaranya sudah menyusun ERFP sejak awal Januari kemarin. Peluang bisnis ini tidak kecil sebenarnya. Kejelian dan kecermatan diperlukan. Kalau bisa bahkan kreativitas dijadikan acuan kerja.

Beberapa waktu yang lalu, kalau tidak salah Jakarta pernah diungkapkan akan dijadikan convention city. Gagasan tersebut tidak salah. Tetapi kalau dilihat dari berbagai aspek, barangkali Jakarta masih harus mengakui Denpasar, Bali (khususnya kawasan Nusa Dua) yang sudah layak disebut sebagai convention destination. Untuk sektor pameran, setuju. Jakarta memang bisa dijadikan barometer perkembangan pelbagai sektor usaha, industri dan perniagaan, melihat berbagai pameran yang diselenggarakan, baik pameran dagang (B2B) maupun pameran ritel (B2C). Hanya saja, masih sangat sedikit perusahaan penyelenggara pameran yang memiliki inisiatif tinggi. Sepengamatan saya, tidak sampai 10 perusahaan yang mempunyai kepedulian terhadap kreativitas.

Sebagai penutup tulisan pemikiran ini, penulis ingin kembali mengingatkan tentang Event Risk & Crowd Management yang secara internasional dikampanyekan sejak tahun 1992-2007.

Di Indonesia kesadaran tentang hal ini masih sangat rendah. Terutama di penyelenggaraan entertainment event, sport event dan beberapa jenis event lainnya. Sikap masa bodo, kesembronoan dan ketidak patuhan pada SOP (standard operating procedure) yang menjadi penyebabnya. Tetapi meskipun korban sudah berjatuhan, belum ada langkah tegas dan jelas dari pihak manapun yang terkait – pemerintah pusat, pemerintah daerah, pihak yang berwajib, organisasi profesi, komunitas dlsb. Saya belum mendengar adanya peraturan yang bersanksi terhadap pengelolaannya. Bahkan pihak yang berwenang pun tidak menguasai dengan baik disiplin ini. Yang ada cuma beberapa individu/professional yang peduli dan kemudian menjalankannya dengan patuh dan ketaatan yang tinggi. Menyedihkan …

Tulisan ini sebetulnya sudah lama saya siapkan. Tetapi kemudian sering saya perbaiki untuk menjaga kemutakhirannya. Bagi siapa yang menerima dan membacanya, serta ingin mempergunakannya sebagai informasi acuan atau reference, dipersilahkan sepanjang menyebutkan sumber tulisan ini dengan sportif dan sesuai tata krama. Terima kasih  J.L.Nawan.2008-2009

No comments:

Post a Comment