Saturday, June 13, 2009

RISK MANAGEMENT dalam dunia PENYELENGGARAAN EVENT

Peristiwa jatuhnya korban jiwa di penghujung akhir pagelaran UNGU baru-baru ini, turut melengkapi korban-korban lainnya sepanjang tahun 2006. Konser SHEILA ON 7 dan GIGI sebelumnya juga mencatat jatuhnya korban.

Adri Subono, pimpinan Java Musikindo yang sudah teramat sering menggelar berbagai konser musik dari dalam maupun luar negeri, memberikan beberapa tips melalui wawancaranya di layar kaca. A.l. yang digaris bawahinya adalah kesiapan penyelenggara (organizer), survey lapangan (venue survey), pembatasan jumlah tanda masuk yang dijual (berkisar 80-90% dari kapasitas muat lokasi acara), hak musisi untuk mengetahui situasi dan kondisi venue yang akan dipergunakan, kerja sama dengan rumah sakit rujukan dll. Topik ini menjadi kian hangat ketika MetroTV dalam acara Kick Andy menampilkan Ungu, Duta dari Sheila on 7, Ahmad Dhani dari Dewa, Adri Subono dan para pemerhati lainnya.

Sebetulnya ada sebuah pengetahuan manajerial yang seyogianya dikuasai dengan baik oleh para penyelenggara (organizer) acara apapun. Tidak hanya bagi organizer konser musik, tetapi juga organizer pameran (PEO), konvensi (PCO), resepsi pernikahan (WO), olahraga, dlsb. Pengetahuan manajerial ini dikenal secara luas dengan nama RISK MANAGEMENT, yang sebetulnya berakar dari ilmu manajemen kesiapan menghadapi berbagai resiko. Tetapi secara spesifik di dunia penyelenggaraan acara (event), risk management memiliki spesifikasi yang sangat terarah. Bahkan tidak hanya organizer yang harus menguasainya, tetapi juga management tiap musisi (band, penyanyi, dlsb.) maupun performer lainnya.

Dr. Peter Tarlow, penulis Event Risk Management and Safety (Wiley, 2002), seorang sociologist yang juga adalah seorang pakar event risk management dan pariwisata, menulis “Whenever we bring people together, there is an element of risk. All event carry two risks, (1) the risk of a negative occurrence both on site and off site, and (2) the negative publicity that comes from this negative occurrence.”

Untuk mengidentifikasi berbagai kemungkinan yang bisa terjadi, sebaiknya dilakukan proses risk assessment melalui sebuah pertemuan tertutup di antara semua pihak terkait. Tentunya pihak2 yang dimaksud adalah mereka yang benar2 berkepentingan dan terkait langsung dengan berbagai aspek penyelenggaraan sebuah event.

Kemudian, sebuah daftar prakiraan resiko juga perlu dibuat, termasuk bagaimana mengantisipasinya dan siapa saja yang bertanggung jawab atau terkait dengan resiko tersebut, maupun pihak2 yang perlu mengetahui kemungkinan terjadinya resiko tersebut.

Sebaiknya organizer tidak hanya mengandalkan pihak ketiga (outsource party) saja, tetapi juga perlu mempelajari beberapa hal yang mendasar. Mis. mereka juga harus mengerti bagaimana menggunakan alat pemadam kebakaran, barangkali ada yang pernah belajar CPR (cardiopulmonary resuscitation), ada yang tahu menghadapi massa yang berjumlah besar, ada yang bisa bela diri, ada yang tahu menghadapi pencuri ‘intelek’ (maling yang tidak tampak seperti maling) dlsb.

Itulah sebabnya penulis seringkali menyarankan agar sebuah organizer juga sering melatih stafnya melalui berbagai kegiatan luar ruang, seperti outing, P3K dll. Dengan demikian, organizer tersebut tidak sama sekali ‘buta’ menghadapi berbagai kemungkinan resiko. Tentunya ketrampilan tambahan ini juga disesuaikan dengan jenis organizer ybs. Disamping itu, organizer yang ‘bijak’ tentunya selalu siap dengan plan B maupun plan C apabila plan A mengalami hambatan.

Pemanfaatan asuransi (kecelakaan, jiwa, property, moveable all-risk protection termasuk FLEXAS, RMSD 4.1A, CCTS, EQ/VE, FWTWD) perlu memperoleh perhatian. Penulis masih mengalami ketika pihak asuransi kecelakaan, jiwa dan property enggan melayani permintaan beberapa PEO (Professional Exhibition Organizer) di dekade 80an. Karena kegiatan pameran dianggap sebagai kegiatan yang sama sekali tidak mapan dan belum layak memperoleh pelayanan asuransi.

Event Risk Management kini menjadi semakin penting, tidak hanya karena terjadinya beberapa musibah di acara konser musik. Tetapi ada beberapa aspek lainnya yang juga menjadi penting, mis. theft prevention, cash handling, copyright dan terrorism maupun biochemical risk.

Bahkan untuk aspek terorisme, tampaknya kalangan pelaku penyelenggaraan event hanya mengandalkan pada apa yang selama ini dilakukan secara umum (generik) oleh berbagai kalangan (kepolisian, satuan pengaman, perkantoran, pusat perbelanjaan dll.). Tampaknya belum cukup pendalaman tentang aspek ini di kalangan pelaku penyelenggaraan event.

Seminar setengah hari “Mengenal Terorisme di Indonesia” pada bulan Oktober 2006 y.l. pun tidak memasukkan masalah event risk management aspek terrorism ke dalam materi pembahasan. Pernah ada pameran otomotif di Balai Sidang Jakarta (JCC) yang di demo oleh kalangan anti kemewahan … tetapi kejadian tsb. belum mampu mengangkat masalah event risk management secara terarah.

Resiko tidak hanya bersifat negatif. Ada juga resiko yang mengandung unsur positif meskipun kalau tidak ditangani dengan baik menjadi negatif. Termasuk mem’bludak’nya penonton (konser musik), peminat (ini sangat terasa di tahap pendaftaran Indonesian Idol), pengunjung (dialami oleh penyelenggara Gaikindo Auto Expo, Inacraft, pameran bursa kerja – ingat peristiwa sejenis ini di Hotel Kartika Chandra Jakarta beberapa tahun lalu?) dll.

Di Indonesia belum banyak lembaga pendidikan yang mengajarkan Event Management memasukkan pengetahuan Event Risk Management di dalam silabusnya.

Tampaknya pengetahuan ini perlu disosialisasikan secara meluas, agar kalangan event organizer lebih mempersiapkan diri secara baik. Di sisi lain, sebagaimana dikatakan oleh Adri Subono, musisi pun (termasuk performer apapun) berhak mengetahui situasi dan kondisi venue yang akan dipergunakan (dalam hal ini management nya). Jangan sampai performer “terjebak” hanya karena besar honorarium yang diterima, tetapi mengandung resiko penyelenggaraan yang tidak ringan.

Event Risk Management menjadi concern berbagai pihak. Mulai dari event organizer (termasuk PEO dan PCO maupun WO), venue management, performer management, pihak berwenang yang memberikan ijin penyelenggaraan, pihak2 pendukung keselamatan dan medis, asuransi, keamanan, temporary staff provider (karena tenaga kerja yang mereka pasok juga perlu diselamatkan), dan lain sebagainya.

EO – termasuk PEO, PCO, WO dan sejenisnya – sebaiknya juga tidak “terjebak” dalam pemikiran yang hanya berorientasi pada financial profit saja. Profit kan tidak hanya berorientasi pada masalah uang. Image, credibility, network, database upgrade, endorsement, termasuk dalam profit.

Karena sebagaimana yang sering penulis utarakan di berbagai forum, target utama bagi event organizer adalah ‘zero complaint’ – dari siapapun complaint itu datangnya  [J.L.Nawan 2007]

No comments:

Post a Comment