Thursday, March 25, 2010

LAPANG DADA

Istilah lapang dada, secara simbolik digunakan Allah SWT untuk menunjuk orang-orang yang kepadanya Ia berkenan memberi petunjuk atau hidayah, terutama hidayah iman dan Islam. Karena itu, seperti dituturkan Muhammad Ghazali dalam bukunya Khuluq al-Muslim, tak ada nikmat dan anugerah yang amat besar selain nikmat bersih hati dan lapang dada. 

Allah berfirman, ''Siapa-siapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, maka Dia melapangkan dadanya. Dan siapa-siapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, maka Allah menjadikan dadanya sesak dan sempit'' (Q. S. 6: 125).

Nabi Muhammad sendiri, disebut Allah SWT sebagai orang yang telah dilapangkan dadanya (Q. S. 94: 1). Menurut Muhammad Ali al-Shabuni dalam buku tafsirnya Shafwat al-Tafasir, yang dimaksud dengan dilapangkan dadanya ialah bahwa hati Nabi SAW telah dipenuhi dengan iman, diterangi dengan cahaya kebajikan dan kebenaran, serta disucikan dari berbagai kotoran dan dosa-dosa. Di dalam dada yang lapang dan hati yang bersih itulah bersemayam iman dan takwa. ''Tempat takwa itu di sini!'' sabda Nabi Muhammad SAW, sambil menunjuk ke dadanya.

Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa Abdullah bin 'Amr dibikin penasaran oleh ''keistimewaan' ' salah seorang Anshar. Pasalnya, setiap kali melihat orang itu, Nabi SAW selalu berkata, ''Ini dia calon penghuni surga!'' Setelah diteliti dan diselidiki, Abdullah menjadi tahu keistimewaan orang itu. Dia adalah orang yang bersih hati dan lapang dada. (H.R. Ahmad).
Orang yang bersih hati dan lapang dada, seperti dikemukakan di atas, tak lain adalah orang-orang yang mampu menekan secara maksimal kecenderungan- kecenderungan buruk yang ada dalam dirinya, seperti rasa benci, dengki, iri hati, dan dendam kusumat. Sebaliknya, ia juga mampu dan berhasil mengembangkan potensi-potensi baik yang ada dalam dirinya menjadi kualitas-kualitas moral (akhlaq al-karimah) yang nyata dan aktual dalam kehidupannya.
Hanya orang yang lapang dada dan bersih hati seperti itu mampu dan sanggup mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri, seperti dianjurkan oleh Nabi SAW. Juga hanya orang seperti itu yang dapat merasa senang dan gembira apabila melihat saudaranya mendapat kebaikan dan anugerah dari Allah SWT. 

Orang yang demikian itu pula yang kelak akan mendapat perlindungan dari Allah SWT. Firman-Nya, ''(Ingatlah) pada hari di mana harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih dan lapang.'' (Q.S. 26:89). Semoga kita menjadi orang yang selalu berlapang dada. - ahi

Sumber: Lapang Dada oleh A. Ilyas Ismail, MA



(Dari: Buletin Dakwah #341)

Tuesday, March 16, 2010

Mr. COMPLAINT ...

Sulit sekali bagi manusia jenis ini untuk menerima saja lingkungan dan rezekinya. Yang ada hanyalah keluhan, keluhan dan keluhan. Dengan sedikit kejernihan, diri kita sebenarnya karunia Tuhan yang paling berharga. Anda dengan hidung, mata, bibir, kepribadian, ketrampilan, dan senyuman yang Anda miliki, hanya dimiliki oleh Anda sendiri. Tukang jahit jarang sekali membuat satu model baju untuk satu orang saja. Arsitek sedikit yang gambarnya diperuntukkan hanya untuk satu orang saja. Kalaupun ada tukang jahit dan arsitek yang membuat disain khusus, dengan sangat mudah orang lain bisa menirunya. Tetapi Tuhan, mendisain setiap manusia semuanya dengan keunikan. Bahkan, manusia kembarpun tetap unik. Dan yang paling penting, tidak ada satupun yang bisa meniru Anda dengan seluruh keunikan Anda.
Bayangkan, betapa sulit dan besar energi yang dibutuhkan untuk mendisain sesuatu yang unik dan tidak bisa ditiru siapapun. Bercermin dari sini, disamping kita harus berterimakasih ke Tuhan karena menciptakan keunikan yang tidak ada tiruannya, sudah saatnya untuk mencari cara bagaimana keunikan dalam diri ini bisa dimaksimalkan. Hidung saya yang tidak mancung ini tentu saja hanya milik saya seorang diri. Dulu ia menjadi sumber rasa minder, namun ketika ada orang yang mengatakan ini penuh keberuntungan, maka berubahlah dia sebagai energi keberhasilan.

WHY SOME EXHIBITORS FAIL?

More nervous and physical energy seems to be expended on exhibitions and trade fairs than on any other form of marketing operation. Yet even with the best intentions, exhibiting can result in miserable failure.
The experience is not uncommon: The exhibition doors open on the appointed day and you find that your booth is not ready to go. Maybe your group's prime exhibit literally missed the boat because the exhibitor underestimated the factory delivery times. Or perhaps the services - electricity, water or compressed air - so vital to demonstrate the products properly - were simply not ordered. Maybe you did get your booth up on time, but at the close of the exhibitions when the organizers produce figures showing the event was the biggest and best ever, you ask yourself, "Why weren't we successful?" After all, your booth was as good, if not better than the next man's, yet he reckoned success in dozens of real orders and sales leads while your country barely covered its costs. Somewhere along the line something went wrong and you knew it should have gone so smoothly.
It is in the organizer's interests to do everything possible to smooth the exhibitor's path and help him to achieve maximum results from his participation. But in the end the success or failure of the booth rests primarily with the exhibitor.
If you consider you failed at exhibiting in the past, conduct a close inquiry. Was the exhibition right for your country? Was the timing correct? Were the products of real interest to the kind of visitors expected? What were your objectives in being there in the first place? Answer these truthfully, and you have perhaps discovered the basic cause of your group's failure. In the final analysis, however, the smooth run up to opening day lies in the planning and the close coordination of various stages under one man, whether he represents the interests of one company or a whole group of companies under a national banner.

Monday, March 15, 2010

"Papa baca yang keras ya ..."

Semuanya itu disadari John pada saat dia termenung seorang diri, menatap kosong keluar jendela rumahnya. Dengan susah payah ia mencoba untuk memikirkan mengenai pekerjaannya yang menumpuk. Semuanya sia-sia belaka. Yang ada dalam pikirannya hanyalah perkataan anaknya Maggy di suatu sore. 3 minggu yang lalu John membawa pekerjaannya pulang. Ada rapat umum yang sangat penting besok pagi dengan para pemegang saham.

Pada saat John memeriksa pekerjaannya, Maggy putrinya yang baru berusia 4 tahun datang menghampiri, sambil membawa buku ceritanya yang masih baru. Buku baru bersampul hijau dengan gambar peri. Dia berkata dengan suara manjanya, "Papa lihat !" John menengok kearahnya dan berkata, "Wah, buku baru ya ?" "Ya Papa !" katanya berseri-seri, "Bacain dong !" "Wah, Papa sedang sibuk sekali, jangan sekarang deh", kata John dengan cepat sambil mengalihkan perhatiannya pada tumpukan kertas di depan hidungnya.

Maggy hanya berdiri terpaku disamping John sambil memperhatikan. Lalu dengan suaranya yang lembut dan sedikit dibuat-buat mulai merayu kembali "Tapi mama bilang Papa akan membacakannya untuk Maggy". Dengan perasaan agak kesal John menjawab: "Maggy dengar, Papa sangat sibuk. Minta saja Mama untuk membacakannya". "Tapi Mama lebih sibuk daripada Papa" katanya sendu. "Lihat Papa, gambarnya bagus dan lucu." "Lain kali Maggy,
sana. Papa sedang banyak kerjaan."

John berusaha untuk tidak memperhatikan Maggy lagi. Waktu berlalu, Maggy masih berdiri kaku di sebelah Ayahnya sambil memegang erat bukunya. Tiba-tiba Maggy mulai lagi "Tapi Papa, gambarnya bagus sekali dan ceritanya pasti bagus ! Papa pasti akan suka". "Maggy, sekali lagi Papa bilang : Lain kali !" dengan agak keras John membentak anaknya. Hampir menangis Maggy mulai menjauh, "Iya deh, lain kali ya Papa, lain kali". Tapi Maggy kemudian mendekati Ayahnya sambil menyentuh lembut tangannya, menaruh bukunya di pangkuan sang Ayah sambil berkata "Kapan saja Papa ada waktu ya, Papa tidak usah baca untuk Maggy, baca saja untuk Papa. Tapi kalau Papa bisa, bacanya yang keras ya, supaya Maggy juga bisa ikut dengar". John hanya diam.

Kejadian 3 minggu yang lalu itulah sekarang yang ada dalam pikiran John. John teringat akan Magy yang dengan penuh pengertian mengalah. Maggy yang baru berusia 4 tahun meletakkan tangannya yang mungil di atas tangannya yang kasar mengatakan: "Tapi kalau bisa bacanya yang keras ya Pa, supaya Maggy bisa ikut dengar". Dan karena itulah John mulai membuka buku cerita yang diambilnya, dari tumpukan mainan Maggy di pojok ruangan. John mulai membuka halaman pertama dan dengan suara parau mulai membacanya. John sudah melupakan pekerjaannya yang dulunya amat sangat penting. Ia bahkan lupa akan kemarahan dan kebenciannya terhadap pemuda mabuk yang dengan kencangnya menghantam tubuh putrinya di jalan depan rumah. John terus membaca halaman demi halaman sekeras mungkin. Sambil berharap cukup keras bagi Maggy untuk dapat mendengar dari tempat peristirahatannya yang terakhir ……………….


Disadur dari: N21

PENANYA TERBAIK ...

Penanya terbaik di dunia adalah anak-anak. Cobalah lihat tingkah laku mereka yang kreatif dan selalu ingin tahu. Setiap kali mereka melihat sesuatu yang baru, akan selalu bertanya "Mengapa begini ?", "Mengapa begitu ?", "Apa ini ?", "Apa itu ?", "Apa maksudnya ?", dan lain sebagainya. Ketidak tahuan anak-anak karena pikiran mereka masih polos dan kosong justru menjadi suatu kelebihan, karena mereka bisa mengisinya dengan berbagai hal dari pertanyaan-pertanyaan mereka.
Namun sayangnya, dalam proses pertumbuhan kita dari anak kecil menjadi dewasa, lingkungan cenderung memberikan doktrin yang membatasi kemampuan dan keberanian kita dalam bertanya. Orang yang banyak bertanya dianggap orang yang bodoh atau kurang cerdas. Cobalah sejenak kita mengingat masa kanak-kanak kita. Saat itu, apabila di dalam kelas guru bertanya, sebagian besar anak akan mengangkat tangan dan menjawab dengan antusias. Tapi saat kita sudah menginjak bangku SMP misalnya, apabila guru bertanya siapa yang belum mengerti, hanya sedikit atau bahkan tidak ada yang berani mengangkat tangan. Sebagian mungkin menundukkan muka, sedang sebagian yang lain berpura-pura sedang sibuk mengerjakan sesuatu. Walaupun mungkin ada beberapa siswa yang belum mengerti, namun ketidak mengertian itu lebih baik hanya disimpan di dalam hati, lebih baik diam … karena persepsi bahwa orang yang banyak bertanya dianggap orang bodoh. Sungguh suatu doktrin yang seringkali tanpa sadar membatasi diri kita untuk berkembang. 
"The important thing is not to stop questioning. Curiosity has its own reason for existing. One can't help but be in awe when he contemplates the mysteries of eternity, of life, of the marvelous structure of reality. It's enough if one tries merely to comprehend a little of this mystery every day. Never lose a holy curiousity"  ~ Albert Einstein

MISKIN CINTA


Tengoklah dengan hati yang paling bening, sesungguhnya banyak di antara kita masih miskin cinta. Uluran pengemis yang ditepis, para pemimpin umat saling menyeteru, dan orang-orang kaya harta yang miskin cinta. Dada tempat bersemayamnya mahabbah telah menipis diganti angkara dunia. Gunjingan dan gosip menjadi nyanyian sehari-hari. Mereka tidak sadar betapa Allah telah berfirman bahwa bagi orang-orang yang menggunjing dan memfitnah itu, diibaratkan bagaikan manusia yang memakan bangkai sesama saudaranya sendiri.

Ini semua terjadi karena di antara kita bisa jadi sudah kehilangan nuansa cinta, dan sebaliknya sarat dengan muatan keserakahan, persaingan, dan memandang manusia dari kacamata materi, untung dan rugi belaka. Dia santuni dan mencoba ingin akrab dengan manusia yang mempunyai kekuasaan. Sopan dan simpatik penampilannya, tetapi hanya sekadar untuk mendapatkan cipratan materi. Dan berubah wajahnya ketika dia berhadapan dengan orang yang lemah (mustad'afin) dan memalingkan muka dari penderitaan orang-orang miskin.

Sungguh, saat ini kita membutuhkan para pemimpin yang mempunyai wibawa cinta. Dia menampakkan wajahnya yang teduh dengan senyuman di bibir, bukan wajah yang sinis mencibir. Seharusnya dia sadar bahwa dirinya menjadi pemimpin karena adanya orang-orang yang dipimpinnya. Dia lupa bahwa menjadi pemimpin itu adalah menjadi pelayan umat.

Simak dan resapkanlah perilaku akhlakul karimah Nabi Muhammad saw dengan sahabat dan umatnya yang bagaikan cahaya mentari. Perilaku akhlakul karimah beliau itu telah menyentuh nurani umat manusia, menggubah peradaban yang gelap menjadi terang, dan meninggalkan pesan-pesan kepada kita untuk menampilkan diri sebagai umat yang santun, berakhlak, dan saling mencintai penuh kedamaian.

Pada saat Nabi saw meluruskan barisan dalam perang Badar, tanpa sengaja beliau memukul perut Sawad bin Ghazyah dengan anak panahnya. Sawad memprotes, ''Ya Rasulullah, dadaku sakit karena pukulanmu. Aku ingin menuntut qishash''. Mendengar ucapan Sawad, para sahabat marah seraya berkata, ''Betapa teganya engkau menuntut qishah kepada Rosulullah'' .

Namun dengan tersenyum, Rasulullah menjawab, ''Biarkan dia menuntut haknya.'' Nabi saw menyingkapkan pakaiannya, dan tampaklah dadanya yang bidang dan putih itu, seraya bersabda, ''Balaslah!' '. Tetapi Sawad bukannya memukul, melainkan menubruk dada Rasulullah dan kemudian menciumnya dengan penuh hikmat, seraya berkata, ''Betapa mungkin hamba membalasmu Ya Rasulullah. Sesungguhnya hamba sudah lama merindu mencium dadamu. Selama ini mencari kesempatan agar kulit hamba yang kasar ini dapat menyentuh kulitmu, berilah hamba syafaatmu ya Rasulullah.' ' Dan kemudian Nabi mendoakannya.

Rasulullah memimpin dengan cinta, dan merasa terhimpit jiwanya melihat penderitaan orang lain yang mengharapkan uluran tangan dan pantulan cinta yang ikhlas dari sesamanya.
Sumber: Miskin Cinta oleh Toto Tasmara

(Dari: Bulletin Dakwah #344)