Saturday, June 13, 2009

SEBUAH PEMIKIRAN MENYOROTI BISNIS PAMERAN, KONVENSI & LINGKUNGANNYA

(Bagian 1)

Penulis yang kebetulan juga mengajar event management, seringkali menerima pertanyaan yang menggelikan, “Pak saya ada sekian ratus juta rupiah. Saya bisa mulai bikin EO dong ya? Kira2 berapa lama ya modal saya balik?” atau “Pak, berapa sih modal bikin EO dan kapan baliknya?”


Lalu, ada pula perusahaan penyelenggara acara (event organizer, dikenal dengan singkatan EO), ada yang bertanya, “Pak, mendingan bikin EO kan ya? Kalau saya bikin PEO atau PCO kalau harus modal besar, sudah gitu baliknya kan lama ya?” Bahkan ada sebuah PEO yang pernah mengutarakan pendapatnya, “Bikin PEO itu bukan main lho. Modal besar, tenaga kerja banyak. Sudah gitu harus mikir kapan investasi kembali.”

Akhirnya saya terpaksa berasumsi bahwa kebanyakan orang di negara kita ini masih menganggap bisnis penyelenggaraan acara itu bisnis pengembalian investasi. Dan masih banyak orang beranggapan bikin perusahaan sejenis ini yang paling utama adalah modal uang. Mereka lupa ada sekitar 11 (sebelas) modal utama mendirikan perusahaan penyelenggaran acara (event organizer) :

Motivation & Commitment – banyak pendiri EO yang tidak memiliki aspek ini. Mereka mendirikan usahanya hanya karena permintaan, saran, anjuran teman, kebetulan ada pesanan, ikut2an dlsb. Lalu dalam perjalanan bisnisnya, usaha ini cuma jadi sampingan (mirip profesi tukang sayur yang kalau lagi panen menghilang dari peredaran karena pulang kampung). Komitmen menjalankan profesi masih banyak yang terlihat rapuh. Ini sangat terlihat ketika kita mengalami krisis di tahun 1998-2000. Perusahaan yang tidak diawali dengan motivasi yang kuat dan komitmen yang tinggi, perlahan-lahan mengalihkan bisnisnya. Bahkan dalam 2-3 tahun terakhir ini juga ada perusahaan yang beralih ke dunia rumah makan (restaurant).

Database – banyak EO yang cuma mengandalkan kenalan yang ada. Baru punya banyak teman sekantor, seorganisasi, selembaga dst. langsung mulai berbisnis. Lalu ketika memerlukan berbagai sumber daya, maka kalang kabut mencari atau akhirnya mengalihkan pekerjaan kepada pihak ketiga di bawah naungan nama usahanya (sub-order, outsourcing)

Network – aspek yang ini sangat terkait dengan aspek database tadi. Dengan keterbatasan database yang dimilikinya, maka sudah dapat dipastikan jaringan nya pun sangat terbatas.

Financial capability & back up – ini yang selalu diingat, tetapi mau cepat dapat untung, mau cepat investasi kembali, mau cepat jadi ‘konglomerat’, mau cepat punya perusahaan besar. Mereka lalai bahwa investasi tidak selalu berupa dana segar. Dan, kebiasaan menjadikan financial capability selalu sebagai satu-satunya modal utama. Meskipun harus diakui bahwa tanpa aspek ini, yang ada cuma kesulitan, karena di bisnis penyelenggaraan event praktis semuanya pre-financing. Perlu diingat bahwa di negara kita bisnis sektor ini belum terlalu memperoleh kepercayaan pihak perbankan, sehingga praktis semuanya harus dari ‘kocek pribadi atau kelompok’. Kemauan saja tidak cukup, harus ada kemampuan yang memenuhi syarat minimum.

Creativity, concept skill – tanpa kemampuan aspek ini, kebanyakan akhirnya hanya meniru event orang lain, menunggu dapat pesanan, mengejar order event yang itu-itu juga (tetapi mengaku sebagai spesialis), dan akhirnya menjadi EO ‘generik’ (istilah ini saya dapatkan di forum/komunitas orang2 marketing yang sering menggunakan jasa EO/PEO/PCO dan sejenisnya). Harus saya akui penyelenggaraan pesta olahraga pantai Asia yang pertama di Bali baru-baru ini adalah sebuah kreativitas yang patut dihargai. Kemampuan kreativitas memang penuh tantangan. Di dunia ini akan sangat sulit menemukan genuineness & originality ideas, kecuali inovasi dan penemuan. Di bisnis event, istilah ‘inspired by’, ‘initiated by’, ‘collaboration’, ‘combine event’ dan sejenisnya masih termasuk wajar. Tetapi sebuah tim kreatif di perusahaan penyelenggara acara, akan sangat mampu menghasilkan berbagai macam event yang bermutu.

Human resource – ini adalah salah satu investasi penting. Tanpa sumber daya manusia yang memenuhi syarat, sulitlah kiranya harapan perusahaan tersebut bisa dicapai. Faktor EEP (effectiveness, efficiency & productivity) tidak akan bisa diraih oleh sumber daya manusia yang ‘salah tempat’ atau ‘salah orang’. 

Individual skill – ketrampilan setiap individu yang terlibat sangat menentukan arah tujuan perusahaan, tanpa aspek ini besar sekali kemungkinan perusahaan tidak akan pernah meraih keberhasilan apapun. Ada yang penulis syukuri selama beberapa tahun terakhir ini. Beberapa perguruan tinggi sudah menempatkan ilmu event management (menurut versinya masing-masing) di dalam kehidupan pendidikan dan kurikulum. Sebut saja, FISIP-UI, Politeknik UI, UNJ dll. – sebuah langkah besar yang mengagumkan. Menggunakan prinsip Indonesia – kalau pun masih di bawah standar, paling tidak sudah ada yang memulainya (prinsip “masih untung”).

Technology – jaman sekarang istilah ‘gaptek’ seringkali melekat pada beberapa perusahaan. Sementara kegiatan pemasaran global sudah dilakukan online, banyak pihak masih berkutat di pengadaan sarana dan prasarana teknologi ini. Jadi, jangankan online, untuk mempunyai peralatan online pun masih sulit. Kalaupun alatnya sudah ada, infrastruktur teknologi informasi di negara kita sendiri masih tergagap-gagap. Kalaupun ada dan bermutu, biayanya tidak kecil lagi. Orang-orang seperti saya, hidup dari SOHO (small office home office), dari teknologi informasi, mulai dari membangun network lewat berbagai media (mailist, newsgroup), mengembangkan database, berkomunikasi global, membuat desain, membangun brand awareness, melakukan jajak pendapat (poll), memperoleh klien (saya kebetulan punya klien di salah satu negara ASEAN selama 2 tahun yang belum pernah bertemu fisik, tetapi bisnis jalan terus), dlsb. Meskipun demikian banyak eksekutif perusahaan penyelenggara acara di bisnis ini yang mempergunakan gadget yang ‘luar biasa’, mutakhir, mahal, eksklusif, fenomenal … tetapi tidak semua fiturnya dipakai atau dimanfaatkan … ada karena untuk gengsi saja (korban mode).

Personality – bisnis ini sangat tergantung pada kepercayaan (selling event is offering a commitment, is not a product yet). Karena event belum diselenggarakan, jadi pada saat menawarkannya kepada orang lain, azas kepercayaan menjadi andalan utama. Tanpa kepribadian yang unggul, didukung oleh service excellence, maka event tersebut tidak akan menarik minat siapapun.

Initiative – istilah yang sering saya pergunakan adalah ‘jemput bola’. Jangan ‘menunggu bola’. Kalau kita terus menerus hanya menunggu, mengharapkan datangnya order, mengharapkan adanya pelelangan penyelenggaraan acara, berdiam diri menunggu adanya international event yang dijadualkan di Indonesia, dlsb. Kita tidak akan pernah maju. Di sinilah kreativitas diperlukan, dan ditambah dengan …

Sharp & Accurate – jeli, cermat terhadap setiap perkembangan yang ada. Setiap kejadian, setiap kegiatan dunia, setiap profesi, setiap bagian dari kehidupan bisa dijadikan event apapun. Tinggal bagaimana mengemasnya, menentukan khalayak sasaran (target audience) dan men’jual’nya. Anehnya di Indonesia ini, kita seringkali ketinggalan oleh negara lain justeru dalam hal yang sederhana. Contoh: pada tahun 2007, Malaysia menyelenggarakan “Bulan Pesta Air, Festival Air Nasional 2007” selama sebulan penuh dengan 36 agenda mata acara, di Pantai Puteri Melaka. Pada waktu yang hampir bersamaan di Jakarta ada “Gebyar Wisata Nusantara 2007” termasuk wisata bahari yang diselenggarakan di Semanggi Expo (jauh dari pantai) dengan kurang dari 10 mata acara. Padahal secara geografis, pantai Indonesia jauh lebih panjang daripada pantai Malaysia Barat + Timur. Ironi ………

Kenapa event? EO itu kan perusahaan kecil, kalau besar kan jadi PEO atau PCO? Ini juga pendapat dan pandangan yang sangat sempit. Di Indonesia, memang yang populer cuma PEO di sektor pameran, PCO di sektor konvensi dan EO dianggap sebagai perusahaan ‘tanggung’ yang tidak punya ‘status’. Kata orang, mendingan WO/WP (wedding organizer/wedding planner). Padahal ada sport event organizer, entertainment event organizer, corporate event organizer, dlsb.

Kalau disimak dalam bahasa Inggris, exhibition maupun convention dan conference atau segalanya, semuanya termasuk dalam event. Organisasi internasional yang selalu dinaikkan ke permukaan di Indonesia selama bertahun-tahun hanyalah 2 di antara sekian banyak organisasi yang ada – hanya UFI (Union des Foires Internationale) dan ICCA (International Congress and Convention Association). Padahal ada ISES (International Special Events Society – yang menerbitkan lisensi CSEP, Certified Special Events Professional), Convention Industry Council, IAEE (International Association of Exhibitions and Events), IFEA (International Festivals and Events Association), IMIA (International Meeting Industry Association), MPI (Meeting Professionals International), IAPCO (International Association of Professional Congress Organizers) dlsb.

Di profil ISES beberapa tahun yang lalu ada teks : “ …The International Special Events Society is comprised of over 4,000 professionals in over 35 countries representing special event producers (from festivals to trade shows), caterers, decorators, florists, destination management companies, rental companies, special effects experts, tent suppliers, audio-visual technicians, party and convention coordinators, balloon artists, educators, journalists, hotel sales managers, specialty entertainers, convention center managers, event risk managers, and many more ...” Jadi pameran (apapun jenisnya), konvensi (apapun namanya) dll. masih termasuk di dalam event … atau special events.

Saya pernah ditanya oleh serorang peserta pelatihan di salah satu kota besar pulau Sumatera, “Pak, saya ada dana segar 1 milyar. Bikin pameran apa enaknya ya pak? Saya mau kok langsung jadi spesialis pameran, ikut organisasi dll.” Saya balik bertanya kepadanya, “Dalam setahun kira-kira berapa pameran yang pernah anda kunjungi?” “Wah jarang pak, saya tidak ada waktu” “Saran saya, sebaiknya anda rajin ke pameran dulu, lalu coba simak apa motivasi pesertanya dan apa tujuan pengunjungnya, produk atau jasa apa yang paling banyak diminati, lalu hitung secara kasar dana yang diperlukan untuk investasi pameran. Kalau anda sudah punya gambaran baru perhitungkan, 1 milyar tadi bisa buat apa saja dan bisa bertahan berapa lama. Mohon diingat anda belum dikenal oleh siapapun.” ---- (BERSAMBUNG)

No comments:

Post a Comment