Monday, March 28, 2011

KEEP CREATIVE ... MAINTAIN YOUR IMAGINATION (is this a dream???)

Pertama kali saya menonton Holiday On Ice adalah ketika saya masih duduk dibangku sekolah, dan acaranya masih di Stadion Ikada Jakarta. Saya terpesona, terpaku, dan *nganga*. Bagi saya, itu adalah sebuah pertunjukan yang BUKAN MAIN.
Bertahun-tahun kemudian, ketika saya menggeluti profesi dan bisnis penyelenggaraan acara (event organizer), khususnya sektor pameran dan konvensi (PEO & PCO - dua sektor utama MICE industry), saya selalu dan seringkali merasa ditantang untuk kreatif ... kreatif ... kreatif!


Masih teringat beberapa pameran yang diselenggarakan oleh perusahaan tempat saya bekerja, sempat *ngerjain* beberapa menteri. Mis. pak Rachmat Saleh (Menteri Perdagangan) yang diminta menarik tambang kapal di hall D PRJ Monas - ketika tambang ditarik ada sebuah kotak besar terbuka tiba2 dan mengeluarkan asap dry ice disertai lampu2 follower & wing spot menyoroti sebuah wooden chair export quality; atau pak Hartarto (Menteri Perindustrian) yang diminta menggergaji sebuah wooden log (pakai portable bandsaw), dan ketika tali ikut terpotong, maka di ujung panggung terlepaslah jaring yang mengurung puluhan merpati dan balon (ini di teras Hall A-B-C Monas).


Kesemuanya berujung pada kreativitas yang berangkat dari alam imajinasi. Seorang eks menteri yang saya anggap (padahal dia tidak pernah tahu) sebagai salah seorang guru kreativitas saya adalah pak Joop Ave. Masih terngiang di telinga saya hingga detik ini, ketika beliau berkata: "Sebuah upacara pembukaan bukanlah sebuah seremonial biasa. Di sana ada news value dan promotion value. Jangan cuma hadirkan menteri buat membuka acara dengan memukul gong, menggunting pita dlsb. Mereka tidak digaji untuk mengerjakan itu. Tapi ciptakan sesuatu yang selalu - paling tidak - memiliki kedua value tadi."


Dua malam yang lalu, saya sempat *ngobrol* (melalui media Twitter) dengan seorang musisi kawakan Indonesia, mas Addie MS, yang saya kagumi sejak lama, ketika pernah menyaksikan pagelaran Twilite Orchestra dengan latar belakang kalau tidak salah sebuah pantai (saya lupa dimana dan tahun berapa). Sebetulnya awal obrolan ini saya mulai karena merasa *touched* obrolan beliau dengan beberapa rekannya tentang *nasib* musik klasik di Indonesia.


Selama sekitar 6 tahun bermukim di luar negeri dalam rangka tugas pekerjaan, saya banyak menimba peluang kreativitas yang sangat demokratis dan terbuka. Pekerjaan saya menuntut kemampuan itu, dan atasan maupun rekan dan bawahan saya (yang sebagian besar adalah orang asing) juga mempunyai apresiasi yang baik terhadap kreativitas (apapun).  Itulah yang membuat saya menjadikan negara tsb menjadi 2nd hometown saya. 


Kembali kepada obrolan saya dengan mas Addie MS - otak saya tergerak untuk berimajinasi. Dulu waktu saya di luar sana dan banyak traveling ke berbagai negara, saya sempat menyaksikan pertunjukan The Royal Ballet dengan tokoh Dame (sebuah gelar kebangsawanan Inggris Raya) Margot Fontaine. Padahal acara itu, Swan Lake, pernah saya saksikan melalui sebuah film ketika saya masih kursus bahasa Inggris di British Council era 60an. Juga kisah Red Shoes yang tragis dll.


Melihat Cantile nya mas Addie MS, melihat adanya orang2 yang masih peduli dengan musik dasar (saya sering sebut klasik sebagai musik dasar mungkin karena membaca not balok, sementara musik pop kalau tidak salah lebih akrab dengan not angka ... CMIIW) seperti Maylaffayza, kemudian seorang wanita cantik yang memainkan harpa (saya lupa namanya), lalu ada Ananda Sukarlan yang malah sekarang hidup di Eropa dan tetap setia pada profesi seninya. Kesemuanya mendorong rasa penasaran saya.


Saya coba membandingkan dengan sepinya pengunjung di pagelaran Ramayana yang dipertunjukkan di Candi Prambanan saat bulan purnama, atau merananya kesenian tradisional kita di berbagai daerah. Sementara saya lihat kesenian Jepang maupun Korea or even Turkey tetap maju dan bahkan mampu memadukan teknologi dalam aplikasinya (perpaduan harmonis antara tradisional dan modern).


Terlepaslah pertanyaan saya kepada mas Addie tentang kemungkinan adanya sebuah pagelaran ballet yang dipadukan dengan musical concert. Lho, kok malah kebetulan ada acara nya Just Alvin tentang Ali Topan The Musical (jenis ketiga sesudah Ali Topan layar lebar dan Ali Topan layar kaca) yang semakin membuat saya gregetan. Kan dulu mbak Titiek Puspa (hanya beliau yang saya anggap layak disebut Diva saat ini karena pengabdian beliau ke dunia seni suara sepanjang beberapa generasi) yang memotori kehadiran musical operette di TVRI? Setiap Idul Fitri dan akhir tahun, kita pasti disuguhi karya beliau bersama rekan-rekan PAPIKO nya. Jadi kalau sekarang ada musical drama/theater, kok rasanya wajar2 saja? Seperti ketika dulu saya berpeluang menyaksikan Jesus Christ Super Star dan West Side Story di sana.


Anyway, tokoh2 seperti Ary Tulang, Mira Lesmana dll adalah tokoh2 generasi muda yang patut diberi "standing ovation"!!!


Jawaban mas Addie MS menambah gregetan saya ..... Ballet? It's my dream! Sponsor? Let's dream! ......... LAH LAH LAH ....... kok ternyata para musisi kitapun seringkali *sesambat* ketika harus "menjual" ide untuk mendapatkan investor? Rupanya di sinilah kendala utama kita. Pemahaman tentang kesenian dan kebudayaan yang masih teramat cetek di kalangan para pebisnis, sehingga kalau ada seperti MANDIRI SEKURITAS yang mau terus menerus mendukung Twilite .... bisa-bisa disebut *kurang gawean*.


Let's go deeper ...
dulu saya punya kebiasaan di kantor maupun dirumah memiliki sebuah file yang saya beri nama MY CRAZY BANK OF IDEAS. Isinya? Berbagai ide yang saya muat sembarangan, alias acak kadul, asal nyatet, ngga peduli jadi atau tidak (who cares, only me probably) - from the most brilliant idea until the most ridiculous thought! Ada ide tentang bikin pertunjukan wayang sinar laser ke udara atau dinding bangunan yang audionya disiarkan lewat radio. Ada ide tentang pameran kelautan tetapi bikinnya di pantai Ancol sampai Kep Seribu (karena kesal kok pameran maritim adanya di JCC yang jauh dari pantai, semenntara Malaysia bikin pameran maritim di tepi pantai - kan kita pantainya lebih banyak/panjang). Ada ide tentang int'l convention yang digarap jauh dari formalitas, settingnya pakai teater arena format (idenya datang dari format kelas ketika pembedahan pertama kali diadakan oleh manusia), atau formatnya seperti panggungnya Shakespeare jaman dulu. Atau karapan sapi yang dikelola ala Ben Hur, jadi ada stadion megah yang fenomenal (karena sasarannya turis asing) tetapi balapannya karapan sapi. Pokoknya segala macam ide yang kadangkala kalau saya baca sendiri suka cekikikan karena geli (kok aku rodo edan yo???)


Saya membayangkan sebuah pagelaran ballet, katakanlah di JCC (stagenya di tambah double size), musiknya dengan living concert yang dilengkapi dengan beberapa specific soloist (harp, violin, entah apa lagi yang sesuai), seluruh state technology modern dipakai (seperti kalau untuk konser musik rock dll.), musiknya barangkali juga harus disesuaikan dengan perpaduan ini, interactve communication dengan audience bisa dilakukan, mis pemain yang muncul dari audience area (ingat bagaimana David Copperfield mentas), kisahnya bisa apa saja .... dari classical stories seperti Swan Lake, theatrical stories seperti Romeo & Juliet, sampai pada Indonesian Traditional Stories seperti Sumpah Palapa (jadi ingat waktu dulu ikutan lomba teater se Jakarta era 70an) yang heroik, atau kisah Pranacitra yang mellow, atau kisah Nyi Dayang Sumbi yang ironis. Apa saja.


Saya penasaran. Beberapa tahun y.l. hampir tidak ada anak muda yang suka dengan lagu jazz. Anak saya saja dulu pernah bilang "papah jadul sih". Padahal jamannya American Cultural Center ada di Jakarta (era 60an), musik jazz seringkali dipromosikan oleh mereka. Sekarang? Lihat saja Java Jazz Festival! Kayaknya dominasi anak muda lebih kuat daripada yang jadul2 kayak saya. Musik klasik lebih2 lagi. Almarhum ayah saya yang penggemar Bach dan Paganini seringkali kena *sindir* cucunya (masangnya pake piringan hitam berkecepatan 78, karena dulu ada yang 45 dan 33 1/3, era gramaphone). Sekarang? Yang comment pertunjukan mas Addie MS saya yakin tidak semuanya generasi middle-up of age (semi jadul dan jadul asli). Pasti generasi mudanya juga sudah cukup banyak.


Jadi wajar dong kalau saya bermimpi bahwa BALLET bisa mulai digarap? Somebody has to start it. Resikonya? Hahahaha .... kalau bisnis selalu mikir cari untung dan tidak berani menanggung resiko deficit, yah mendingan jangan bsinis deh. Nitip saja uangnya di bank nunggu bunga deposito roll-over.


Next question (or let say ... next problem?)
Bagaimana mengemas ide ini supaya *laku* di *jual* ke kalangan investor? Jangan cuma selalu bertopang pada pelestarian budaya, demi masa depan generasi muda dst ...... kuno! Say it in a better commercial way-of-thinking. Mereka (para pebisnis/investor) kan maunya untung? Tidak hanya financial profit, tetapi juga image, credibility, good corporate citizen looks, prestigious performance dlsb. 
Bagaimana pagelaran ini bisa me*angkat* mereka ke suatu peringkat popularitas komersial atas kepedulian terhadap sebuah karya kesenian dan kebudayaan. Mau dipadukan dengan konsep "Wonderful Indonesia" nya pak Jero Wacik untuk 2011? Can do! Adakan di GWK Bali. Adakan di Teater Alam TransCorp Makassar. Ajak pemda setempat untuk bekerja, ada pembagian hasil buat mereka (PAD = pendapatan asli daerah). Ajak EO setempat untuk bergumul dalam kreativitas di lapangan.


Itulah mengapa saya menekankan kata sinerji pada tweets saya ke mas Addie MS. Tanpa sinerji, kerja sama, konsorsium usaha, sharing, cooperation, karya2 besar seperti ini sulit ada. Saya merindukan mas Guruh tampil lagi seperti ketika Swara Mahardhika jaya. Saya merindukan *standing ovation* bagi para seniman kita yang sudah memperlihatkan bukti nyata karya dan karsanya (bukan cuma OMDO, NATO, MEEDO, NAMO dll.).


Tema WONDERFUL INDONESIA sebetulnya bisa dimanfaatkan, asalkan saja kita juga bisa menyampingkan semua ego kita. Duduk bersama, bagi tugas sesuai otak dan kebisaan masing2. This is a wonderful country, isn't it? And we also have a huge collection of wonderful art & cultural.


Ingat, waktu yang tersedia agak mepet, 2014 kita sudah akan disibukkan dengan political events. Jadi cuma 2012-2013!


Kapan ya ada ice skating atau roller blade dengan cerita Damarwulan, musiknya rock tapi pake orchestra? Jadi ingat dulu waktu terlibat dengan Ratna Sarumpaet Satu Merah Panggung di Teater Terbuka TIM .... HAMLET ala Batak! She is one creative woman!


Mungkin kuncinya ... KEEP CREATIVE, CONSUMER ORIENTATION WAY OF THINKING, jangan malu untuk berfikir COMMERCIAL, SCRAP ALL EGO, SHARE ALL SKILLS & IDEAS, MAINTAIN ALL IMAGINATION, DREAMS, HAVE A STRONG MOTIVATION, dan KEEP OUR COMMITMENT!


(maaf kalau tulisan ini tidak sistematis, jadi kalau yang membaca adalah seorang penulis sejati, saya pasti sudah dicoret ngga lulus karena belepotan, tapi kalau yang membaca mau ikutan *ngedan* dengan saya ......... welcome to the jungle).

Friday, March 25, 2011

DENGARLAH ANAKKU .........

From: ary
Sent: Friday, March 18, 2011 5:39 AM
Subject: Dengarlah anakku


"Dengarlah anakku: Ayah mengatakan hal ini dihadapanmu ketika kau sedang tertidur pulas. Kau letakkan tanganmu yang mungil di bawah pipimu, beberapa helai rambutmu yang pirang menempel di dahimu yang basah. Ayah diam-diam memasuki kamarmu. Beberapa saat yang lalu, ketika Ayah membaca buku di kamar kerja, tiba-tiba ayah dihantui rasa penyesalan yang mendalam. Oleh karena itu, sekarang ayah datang, duduk disampingmu dengan perasaan penuh dengan dosa. 


Wahai anakku, selama ini tidak terpikirkan olehku bahwa ayah telah bertindak ketus dan bersikap keras terhadapmu. Ayah membentakmu sewaktu kau memakai pakaian ketika kau hendak sekolah karena kau hanya mencuci muka saja. Ayah dibuat kesal olehmu karena kau tidak membersihkan sepatumu. Ayah berteriak marah-marah sewaktu kau terlantarkan mainanmu dilantai. 


Pada waktu sarapan Ayah mendapatkanmu berbuat kesalahan juga. Kau tumpahkan makananmu, kau bunyikan meja dengan sikumu, kau cela makananmu. Keju yang kau taruh di roti terlalu tebal. Dan sewaktu kau masih bermain-main sedangkan ayah sudah bersiap berangkat bekerja hendak ke stasiun kereta api, kau membalik sambil melambaikan tangan dan berseru, "Selamat jalan Ayah!" Aku balas dengan cemberut lalu kukatakan, "Berdirilah yang tegak!"


Di sore hari, terjadi lagi ketegangan. Sewaktu ayah berjalan pulang menuju rumah, ayah melihat kau sedang bermain kelereng sambil berlutut. Kulihat kaos kakimu berlubang. Kau kupermalukan di depan teman-temanmu dengan mendorongmu berjalan pulang di depanku. "Kaos kaki itu mahal dan andaikan kau membelinya dengan uangmu sendiri, kau pasti akan berhati-hati!" Bayangkan wahai anakku apakah itu tindakan ayah yang baik?


Ingatlah kau -setelah itu- waktu ayah membaca di kamar kerja, lalu kau datang melongok dengan wajah yang murung, kau bolak-balik melongok ke kamar membuat ayah terganggu dan tidak konsentrasi dalam membaca sehingga aku membentakmu, "Mau apa?" Kau menjawab, "Tidak mau aoa-apa." Tetapi setelah itu kau lari menghampiriku dan merangkulku kuat-kuat lalu menciumku. Kedua lenganmu yang mungil merangkulku dengan kuat penuh kecintaan dari lubuk hati yang paling dalam, cinta yang tidak pernah layu dari seorang anak kepada ayahnya, meskipun aku memperlakukanmu dengan keras. Setelah itu kau berlari dan naik ke latai atas. 


Baik, anakku, tidak lama sesudah itu, bukuku terjatuh dari tanganku dan tiba-tiba ayah diliputi perasaan takt yang sangat dan merasa jijik terhadap diriku sendiri. Apa hasilnya dari kebiasaan burukku itu? Kebiasaan mencari-cari kesalahan, bersikap keras, inikah hadiah dari seorang ayah kepada anak yang masih kecil sepertimu? Tindakan kasarku bukan karena aku tidak mencintaimu, melainkan ayah menuntut terlalu banyak darimu. Ayah mengukur dirimu dengan ukuran orang dewasa.


Sungguh banyak sifat-sifat terpuji dalam kepribadianmu. Hatimu yang kecil bagaikan cahaya fajar yang menyinari cakrawala yang luas. Ini nampak ketika kau menghampiriku secara spontan dan emnciumku sebelum tidur. Yang ayah pikirkan malam ini hanyalah dirimu. Ayah berada di sisimu dalam kegelapan, duduk belutut, malu pada diriku sendiri!


Ini sedikit upaya untuk menghapus kesalahan, ayah tahu kau tidak akan mengerti semua ini jika kukatakan kepadamu. Tetapi besok aku akan menjadi seorang ayah yang sesungguhnya, aku akan bersahabat denganmu, emnderita bila kau menderita, sedih jika kau sedih dan ikut bergembira jika kau gembira. Lidahku akan kutahan, kalau ada perbuatanmu yang membuatku kesal. Ayah akan terus mengucapkan suatu kalimat yang akan kujadikan sebagai moto, 'Maklum, ia masih anak-anak.'


Ayah takut emmperlakukanmu sebagai orang dewasa sebagaimana sikapku selama ini kepadamu. Tapi, ketika aku memandangimu sekarang ini, wahai anakku, tidur meringkuk di kasurmu, aku memandangmu, kau adalah anak kecil. Sepertinya baru kemarin kau digendong ibumu, kepalamu menempel dibahunya. Ayah telah menuntutmu terlalu banyak, ayah telah menuntutmu terlalu banyak."
(Kaifa Tuatstsiru 'alaa al-Aakhariin wa Taktasibu Al-Ashdiqaa', hal 18-20)
Disalin dari buku :29 pelajaran berharga dari kisah Da'i Cilik", Fariq Gasim Anuz.


"Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik kepada keluarganya..." [HR at-Tirmidzi dan Abu Dâwud].

GAMBARU !!!

Say YES to GAMBARU!
by Rouli Esther Pasaribu on Monday, March 14, 2011 at 10:02am
(copied from the original email without any editing)


Terus terang aja, satu kata yang bener2 bikin muak jiwa raga setelah tiba di Jepang dua tahun lalu adalah : GAMBARU alias berjuang mati-matian sampai titik darah penghabisan. Muak abis, sumpah, karena tiap kali bimbingan sama prof, kata-kata penutup selalu : motto gambattekudasai (ayo berjuang lebih lagi), taihen dakedo, isshoni gambarimashoo (saya tau ini sulit, tapi ayo berjuang bersama-sama), motto motto kenkyuu shitekudasai (ayo bikin penelitian lebih dan lebih lagi). Sampai gw rasanya pingin ngomong, apa ngga ada kosa kata lain selain GAMBARU? apaan kek gitu, yang penting bukan gambaru.


Gam baru itu bukan hanya sekadar berjuang2 cemen gitu2 aja yang kalo males atau ada banyak rintangan, ya udahlah ya...berhenti aja. Menurut kamus bahasa Jepang sih, gambaru itu artinya :
"doko made mo nintai shite doryoku suru" (bertahan sampai kemana pun juga dan berusaha abis-abisan)


Gambaru itu sendiri, terdiri dari dua karakter yaitu karakter "keras"  dan "mengencangkan". Jadi image yang bisa didapat dari paduan karakter ini adalah "mau sesusah apapun itu persoalan yang dihadapi, kita mesti keras dan terus mengencangkan diri sendiri, agar kita bisa menang atas persoalan itu" (maksudnya jangan manja, tapi anggap semua persoalan itu adalah sebuah kewajaran dalam hidup, namanya hidup emang pada dasarnya susah, jadi jangan ngarep gampang, persoalan hidup hanya bisa dihadapi dengan gambaru, titik.).


Terus terang aja, dua tahun gw di jepang, dua tahun juga gw ngga ngerti, kenapa orang2 jepang ini menjadikan gambaru sebagai falsafah hidupnya. Bahkan anak umur 3 tahun kayak Joanna pun udah disuruh gambaru di sekolahnya, kayak pake baju di musim dingin mesti yang tipis2 biar ngga manja terhadap cuaca dingin, di dalam sekolah ngga boleh pakai kaos kaki karena kalo telapak kaki langsung kena lantai itu baik untuk kesehatan, sakit2 dikit cuma ingus meler2 atau demam 37 derajat mah ngga usah bolos sekolah, tetap dihimbau masuk dari pagi sampai sore, dengan alasan, anak akan kuat menghadapi penyakit jika ia melawan penyakitnya itu sendiri. Akibatnya, kalo naik sepeda di tanjakan sambil bonceng Joanna, dan gw ngos2an kecapean, otomatis Joanna ngomong : Mama, gambare! mama faitoooo! (mama ayo berjuang, mama ayo fight!). Pokoknya jangan manja sama masalah deh, gambaru sampe titik darah penghabisan it's a must!


Gw bener2 baru mulai sedikit mengerti mengapa gambaru ini penting banget dalam hidup, adalah setelah terjadi tsunami dan gempa bumi dengan kekuatan 9.0 di Jepang bagian timur. Gw tau, bencana alam di Indonesia seperti tsunami di Aceh, Nias dan sekitarnya, gempa bumi di Padang, letusan gunung Merapi....juga bukanlah hal yang gampang untuk dihadapi. Tapi, tsunami dan gempa bumi di Jepang kali ini, jauuuuuh lebih parah dari semuanya itu. Bahkan, ini adalah gempa bumi dan tsunami terparah dan terbesar di dunia.


Wajaaaaaaar banget kalo kemudian pemerintah dan masyarakat Jepang panik kebingungan karena bencana ini. Wajaaaaar banget kalo mereka kemudian mulai ngerasa galau, nangis2, ga tau mesti ngapain. Bahkan untuk skala bencana sebesar ini, rasanya bisa "dimaafkan" jika stasiun-stasiun TV memasang sedikit musik latar ala lagu-lagu Ebiet dan membuat video klip tangisan anak negeri yang berisi wajah-wajah korban bencana yang penuh kepiluan dan tatapan kosong tak punya harapan. Bagaimana tidak, tsunami dan gempa bumi ini benar-benar menyapu habis seluruh kehidupan yang mereka miliki. Sangat wajar jika kemudian mereka tidak punya harapan.


Tapi apa yang terjadi pasca bencana mengerikan ini? Dari hari pertama bencana, gw nyetel TV dan nungguin lagu-lagu ala Ebiet diputar di stasiun TV. Nyari-nyari juga di mana rekening dompet bencana alam. Video klip tangisan anak negeri juga gw tunggu2in. Tiga unsur itu (lagu ala Ebiet, rekening dompet bencana, video klip tangisan anak negeri), sama sekali ngga disiarkan di TV. Jadi yang ada apaan dong?


Ini yang gw lihat di stasiun2 TV :


1. Peringatan pemerintah agar setiap warga tetap waspada
2. Himbauan pemerintah agar seluruh warga jepang bahu membahu menghadapi bencana (termasuk permintaan untuk menghemat listrik agar warga di wilayah Tokyo dan Tohoku ngga lama-lama terkena mati lampu)
3. Permintaan maaf dari pemerintah karena terpaksa harus melakukan pemadaman listrik terencana
4. Tips-tips menghadapi bencana alam
5. nomor telepon call centre bencana alam yang bisa dihubungi 24 jam
6. Pengiriman tim SAR dari setiap perfektur menuju daerah-daerah yang terkena bencana
7. Potret warga dan pemerintah yang bahu membahu menyelamatkan warga yang terkena bencana (sumpah sigap banget, nyawa di Jepang benar-benar bernilai banget harganya)
8. Pengobaran semangat dari pemerintah yang dibawakan dengan gaya tenang dan tidak emosional : mari berjuang sama-sama menghadapi bencana, mari kita hadapi (government official pake kata norikoeru, yang kalo diterjemahkan secara harafiah : menaiki dan melewati) dengan sepenuh hati
9. Potret para warga yang terkena bencana, yang saling menyemangati : *ada yang nyari istrinya, belum ketemu2, mukanya udah galau banget, tapi tetap tenang dan ngga emosional, disemangati nenek2 yang ada di tempat pengungsian : gambatte sagasoo! kitto mitsukaru kara. Akiramenai de (ayo kita berjuang cari
istri kamu. Pasti ketemu. Jangan menyerah)  *Tulisan di twitter : ini gempa terbesar sepanjang sejarah. Karena itu, kita mesti memberikan usaha dan cinta terbesar untuk dapat melewati bencana ini;  Gelap sekali di Sendai, lalu ada satu titik bintang terlihat terang. Itu bintang yang sangat indah. Warga Sendai, lihatlah ke atas.


Sebagai orang Indonesia yang tidak pernah melihat cara penanganan bencana ala gambaru kayak gini, gw bener-bener merasa malu dan di saat yang bersamaan :  kagum dan hormat banget sama warga dan pemerintah Jepang. Ini negeri yang luar biasa, negeri yang sumber daya alamnya terbatas banget, negeri yang alamnya keras, tapi bisa maju luar biasa dan punya mental sekuat baja, karena : falsafah gambaru-nya itu. Bisa dibilang, orang-orang jepang ini ngga punya apa-apa selain GAMBARU. Dan, gambaru udah lebih dari cukup untuk menghadapi segala persoalan dalam hidup.


Bener banget, kita mesti berdoa, kita mesti pasrah sama Tuhan. Hanya, mental yang apa-apa "nyalahin" Tuhan, bilang2 ini semua kehendakNya, Tuhan marah pada umatNya, Tuhan marah melalui alam maka tanyalah pada rumput yang bergoyang.....I
Guarantee you 100 percent, selama masih mental ini yang berdiam di dalam diri kita, sampai kiamat sekalipun, gw rasa bangsa kita ngga akan bisa maju. Kalau ditilik lebih jauh, "menyalahkan" Tuhan atas semua bencana dan persoalan hidup, sebenarnya adalah kata lain dari ngga berani bertanggungjawab terhadap hidup yang dianugerahkan Sang Pemilik Hidup. Jika diperjelas lagi, ngga berani bertanggungjawab itu maksudnya : lari dari masalah, ngga mau ngadepin masalah, main salah2an, ngga mau berjuang dan baru ketemu sedikit rintangan aja udah nangis manja.


Kira-kira setahun yang lalu, ada sanak keluarga yang mempertanyakan, untuk apa gw menuntut ilmu di Jepang. Ngapain ke Jepang, ngga ada gunanya, kalo mau S2 atau S3 mah, ya di eropa atau amerika sekalian, kalo di Jepang mah nanggung. Begitulah kata beliau. Sempat terpikir juga akan perkataannya itu, iya ya, kalo mau go international ya mestinya ke amrik atau eropa sekalian, bukannya Jepang ini. Toh sama-sama asia, negeri kecil pula dan kalo ga bisa bahasa jepang, ngga akan bisa survive di sini. Sampai sempat nyesal juga,kenapa gw ngedaleminnya sastra jepang dan bukan sastra inggris atau sastra barat lainnya.


Tapi sekarang, gw bisa bilang dengan yakin sama sanak keluarga yang menyatakan ngga ada gunanya gw nuntut ilmu di jepang. Pernyataan beliau adalah salah sepenuhnya. Mental gambaru itu yang paling megang adalah jepang. Dan menjadikan mental gambaru sebagai way of life adalah lebih berharga daripada go international dan sejenisnya itu. Benar, sastra jepang, gender dan sejenisnya itu, bisa dipelajari di mana saja. Tapi, semangat juang dan mental untuk tetap berjuang abis-abisan biar udah ngga ada jalan, gw rasa, salah satu tempat yang ideal untuk memahami semua itu adalah di jepang. Dan gw bersyukur ada di sini, saat ini.


Maka, mulai hari ini, jika gw mendengar kata gambaru, entah di kampus, di mall, di iklan-iklan TV, di supermarket, di sekolahnya joanna atau di mana pun itu, gw tidak akan lagi merasa muak jiwa raga. Sebaliknya, gw akan berucap dengan rendah hati : Indonesia jin no watashi ni gambaru no seishin to imi wo oshietekudasatte, kokoro kara kansha itashimasu. Nihon jin no minasan no yoo ni, gambaru seishin wo mi ni tsukeraremasu yoo ni, hibi gambatteikitai to omoimasu. (Saya ucapkan terima kasih dari dasar hati saya karena telah mengajarkan arti dan mental gambaru bagi saya, seorang Indonesia. Saya akan berjuang tiap hari, agar mental gambaru merasuk dalam diri saya, seperti kalian semuanya, orang-orang Jepang).

Saturday, March 12, 2011

Pendar Cahaya .........

Jiwa ini menghidupi anggur-anggur yang bersemai. Aku peras bulir-bulirnya. dan aku suguhkan buat mereka yang kehausan. Surga menyalakan pelitaku dengan minyak nan harumnya. Dan aku menaruhnya di kusen jendela rumahku buat mereka yang melintasi kegelapan malam.
Kulakukan ini semua karena aku hidup dalam diri mereka. Dan apabila talian takdir mengikat, mengekang tanganku dari melakukan hal itu, lebih baik aku mati.
Karena aku seorang pengembara, dan bila aku tak dapat memberi maka aku tak layak menerima.
Kemanusiaan mengusik bagai prahara. Tapi aku mengeluh, mendesah dalam kesenyapan. Karena aku tahu, amuk badai kan reda kala keluh dan desah dalam Kuasa Ridha Allah.
Kita begitu tergantung pada perkara-perkara yang membekukan bagai salju atau menghanguskan bagai bara. Tapi aku mendamba pendar cahaya cinta kasih yang kan menyucikan hati dan menghanguskan ketamakan duniawi dengan apinya.
Sebagaimana cinta kasih menghidupkan hati manusia dengan pedih perih, demikianpun kedunguan mengajarinya mencari jalan kerarifan.
Pedih perih dan kedunguan mengantarkan suka cita agung dan kearifan nan adiluhung, sebab kearifan Sang Abadi tiada mencipta sesuatu yang sia-sia di bawah asuhan matahari.

IZINKANLAH AKU ISTIRAHAT SEJENAK ...

(thanks to Rahmadsyah Mind who gave me his permission to post his article in my personal blog)


Assalamu’alaikum wr.wb
Shahabat saya yang baik. Semoga tiap nafas yang terus masuk dan keluar, semakin menambah rasa syukur kita kepada Allah SWT. Mudah-mudahan pertemuan kita lewat tulisan ini, menambah keeratan nan merekat ukhuwah kita.


Sebentar lagi, saya akan sharing kisah imajinatif fikiran kreatif saya.
Jadi, sebelumnya saya menyampaikan, ini bukanlah kisah sebenarnya. Hanya coretan seperti masa di Sekolah Dasar dulu, saat guru Bahasa Indonesia meminta saya untuk mengarang bebas. Tapi, jikapun itu seakan nyata, tiada maksud untuk menyindir atau menjustifikasi siapapun. Harapan saya, kisah imanjinatif ini menjadi pembelajaran bagi saya, semoga juga untuk Anda.


Coretan ini berawal dari saya membaca buku terbaru Pak Gede Prama.
Pencerahan Dalam Perjalanan. Ada satu tema yang beliau bahas di buku tersebut, berkesan bagi saya. ”Kembali Sifat Alami Masing-Masing”. Tema ini sungguh menyadarkan saya untuk selalu waspada dan sadar dengan aktivitas kekinian yang sedang saya kerjakan, supaya tidak berjalan tanpa makna.


Kisah Imanjinatif ---
Sungguh kehidupan ini terkadang membuat kita terus berlari-berlari tanpa jeda. Usia 3 tahun orang tua sudah mencari-cari tempat bermain untuk anak-anaknya. Sekarang dikenal dengan PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini). Setelah itu masuk ke TK A-B. Selang 2-3 tahun kemudian, orang tua sudah mulai mencari-cari sekolah terbaik buat buah hatinya.


Gong perlarian mulai didentumkan. Tuntutan menjadi juara dan pluit
kompetisi semakin sering terdengar di telinga si anak. Enam tahun kemudian, orang tua mewanti-wanti agar belajar yang rajin dan sungguh-sungguh, itu semua beralasan untuk masa depan si anak, supaya mudah masuk kejenjang sekolah selanjutnya.


Sang anak sekarang mulai memasuki medan persaingan baru, teman-temannya juga baru. Aneka jenis pertandingan yang mesti dia menangkanpun, berbeda dengan masa di Sekolah Dasar dulu. Namun ada satu yang tetap sama, juara kelas. Sehingga, untuk mendapatkan itu, sang anak dibawa lari oleh tuntutan mengikuti pelajaran tambahan setelah selesai sekolah. Ada yang ikutan bimbingan belajar, adapula yang guru pengajar diundang kerumah, bagi orang tua yang mampu.


Berapa tahun berlalu, tanpa disadari, tiba-tiba sudah berhadapan lagi dengan Ujian Nasional. Tingkat konsentrasi yang berujung stresspun mulai menyapa, karena berbagai harapan dan gambaran-gambaran ketakutan dihadapkan kepadanya.


Setelah lulus, sang Anak mulai dilanjutkan lagi ke jenjang Sekolah Menengah Atas. Dia mulai merasakan suatu emosi yang terus bergejolak meledak-meledak dalam dirinya, dia tidak tahu perasaan apa itu. Perasaan itu khusus hadir saat mendengar, melihat dan berdekatan dengan lawan jenisnya. Ia mengabaikannya, karena teringat kembali dengan program ”Belajar yang rajin, belajar..belajar..belajar agar jadi juara” yang ditanamkan oleh orang tuanya.


Tiga tahun belalu, kehidupan si anak hanya dipenuhi dengan belajar-belajar dan belajar. Ia terus berlari-berlari dengan sang target. Sekarang sang anak memasuki dunia kompetisi baru lagi, namun lebih fleksible. Karena tempat baru ini, mempunyai pilihan yang lebih banyak dalam mengambil tindakannya. Kompetisi di arena Perguruan Tinggi.


Karena si anak sudah terlatih semenjak kecil, yang sudah habitut baginya, belajar-belajar dan terus belajar, sehingga ia agak berbeda dengan teman-temannya yang lain. Teman-temannya tidak semuanya sibuk seperti dia. Ada ikut kegiatan menyanyi dan menari, olah raga, jurnalistik, lembaga dakwah kampus, bisnis dll. Sementara sang Anak yang sudah dewasa itu, aktivitasnya adalah rumah, kampus dan perpustakaan.


Akhirnya ia lulus dengan nilai terbaik sebagai sang juara di angkatannya, Cumlaude. Kehidupan belum berakhir, malah seakan-akan semakin dimulai. Setelah lulus, Ia pun melamar pekerjaan. Alhamdulillah dia diterima di tempat kerja yang bonafide, sekaligus arena perlombaan dan kompetisi baru baginya. Di arena ini tidak kalah menarik dari ring-ring kompetisi yang telah ia menangkan. Seperti, setiap hari senin, meeting mingguan sebagai progress pekerjaan yang telah dilakukan bersama team dan bosnya. Telinga nya tidak pernah luput mendengar kata-kata target...target...target... dari atasannya. Target demi target ia lampaui. Suatu hari saat pulang ke rumah bertemu orang tuanya. Ia mendengar pertanyaan, ”Kapan kamu menikah?” pertanyaan itupun menambah target baru dalam hidupnya. Ia pun mencari dan mencari serta mencocokkan antara kriterianya dan juga masuk kriteria orang tuanya.


Setelah pencarian berlangsung, dia menemukan pedamping hidupnya. Pernikahanpun berlangsung. Sementara di arena kerja, di kantor dia terus mengejar target untuk menaiki jenjang lebih tinggi. Menjadi Manager, Kepala Cabang hingga menjadi Direktur. Seiring waktu, tuntutan keluarganya pun semakin bertambah berbarengan tingginya karir yang ia naiki.


Rasa Penyesalan ---
Sampai suatu ketika, ia duduk disamping sebuah jendela. Melihat kebawah, ada anak-anak yang sedang bermain di taman. Mereka bermain sungguh sangat mengasyikan penuh riang gembira. Muncul pertanyaan dalam dirinya ”Kapan aku akan seperti itu?”.


Di taman itu ada jalan kecil setapak terbuat dari beton. Di atas jalan tersebut, ia melihat ada lelaki sedang mendorong kereta bayi bersama istrinya sambil menggendong anak mereka. Lagi-lagi ia bertanya dalam dirinya ”Kapan aku akan seperti itu?”.


Dari jendela itupun ia melihat, ada kursi terbuat dari besi. Di kursi tersebut ada seorang kakek dan nenek seusianya, duduk mesra dihampiri oleh anak-anak dan cucunya. Sekali lagi ia bertanya ”Kapan aku seperti itu?”.


Dengan wajah penuh kesedihan. Tiba-tiba ia sadar, sekarang sedang berada di panti jompo. Istrinya sudah lebih dahulu meninggalkan arena perlombaan (meninggal). Diapun tidak tahu, dimana anak-anaknya berada dan dimana mereka tinggal. Kemudian, tanpa kuasa dia menahan, air mata mengalir membasahi pipinya. Air mata penyesalan. Karena ia sadar, seharusnya pertanyaan tadi tidak ia tanyakan. Sebab ia sudah melampauinya semua. Namun, tidak pernah dia luangkan waktu untuk menikmatinya. Akhirnya, ia berujar kepada dirinya sendiri  ”Izinkan aku istirahat sejenak”. Dia pun menutup mata dan beristirahat selamanya, dalam jiwa penuh penyesalan.


Ciganjur, 3 Maret 2011

LILIN ke 4 .........

(thanks to Widyagung94 who gave me her permission to post this in my personal blog)


Ada 4 lilin yg sedang menyala, namun sedikit demi sedikit meleleh.. 
Dlm kesunyian terdengar percakapan mereka :                    
Lilin I : " Aku adlh Damai, tp manusia tdk mengajakku lg, aku sdh tak berguna, lbh baik aku matikan saja diriku"..
Lalu sang lilin "mematikan dirinya".  
                  
Lilin II : "Aku adlh Iman, aku jg tdk berguna lg bagi manusia, mrk tdk pernah mengajakku lagi, lbh baik aku tidak menyala saja!
Lalu "tiupan angin" mematikan lilin yg II.                      
Lilin III: "Aku adlh Cinta, tp aku jg tak berguna bagi manusia, krn mrk slalu saling membenci, bahkan membenci org yg dicintainya atau yg mencintainya; jd lbh baik aku matikan saja diriku.."
Maka lilin III pun mati.  


Tiba2 seorang anak kecil masuk kedlm ruangan itu. Karena "menghadapi kegelapan" anak itu berteriak..kenapa kalian mati? aku takut kegelapan..,katanya sambil menangis tersedu-sedu.  
            
Lalu lilin IV berkata :
"Anak kecil.. jangan menangis :), selama msh ada aku! Mari..qt nyalakan ke3 lilin itu!!".
Lalu sang anak mengambil lilin IV.. Dgn lilin itu dinyalakannya ke-3 lilin yg sdh mati, shg ruangan mjd terang kembali, lbh terang dari sebelumnya.


Ternyata lilin IV itu adlh H A R A P A N :).. 
Selama harapan masih ada dlm diri qt, ke-3 lilin dlm diri qt yg hampir padam , bahkan yg sdh padam, dpt qt nyalakan lgi.:).


Never give up!! Selalu percaya Tuhan selalu memberi yang terbaik untuk kita!!

Wednesday, March 9, 2011

ENGLISH Language

Lets face it, English is a stupid language.
There is no egg in the eggplant
No ham in the hamburger
And neither pine nor apple in the pineapple.
English muffins were not invented in England
French fries were not invented in France.

We sometimes take English for granted
But if we examine its paradoxes we find, that
Quicksand takes you down slowly
Boxing rings are square
And a guinea pig is neither from Guinea nor is it a pig.

If writers write, how come fingers don‘t fing.
If the plural of tooth is teeth,
Shouldn‘t the plural of phone booth be phone beeth.
If the teacher taught,
Why didn‘t the preacher praught.

If a vegetarian eats vegetables,
What the heck does a humanitarian eat?
Why do people recite at a play
Yet play at a recital?
Park on driveways and
Drive on parkways
How can the weather be as hot as hell on one day
And as cold as hell on another

You have to marvel at the unique lunacy
Of a language where a house can burn up as
It burns down
And in which you fill in a form
By filling it out
And a bell is only heard once it goes!

English was invented by people, not computers
And it reflects the creativity of the human race
(Which of course isn‘t a race at all)

That is why
When the stars are out they are visible
But when the lights are out they are invisible
And why it is that when I wind up my watch
It starts..
But when I wind up this poem
It ends..