Thursday, August 11, 2011

10-11 AGUSTUS 2003 ...

8 tahun yang lalu ... 10 Agustus jatuh pada hari Minggu. Itu adalah hari terpanjang di dalam hidupku. Sejak dini hari, aku sudah dibangunkan oleh petugas medis Intermediate Care Unit karena dokter yang on-duty memerlukan keputusanku. Ira - isteriku - dalam keadaan kritis. Nafasnya sudah sedemikian cepatnya sehingga sulit bagi siapa saja untuk membiarkannya begitu tanpa upaya medis apapun.
Dokter menjelaskan beberapa pertimbangan yang merupakan pilihan. Kalau tidak segera dipindahkan ke Intensive Care Unit, maka isteriku bisa meninggal dunia karena ketidak sanggupannya bernafas. Jadi mau tidak mau, ICU adalah pilihan saat itu. Dan memang sesaat setelah dipindahkan ke ICU, Ira sudah tidak sadar sama sekali, koma.
Pagi itu aku juga menerima penjelasan tambahan dari tim dokter. Hampir dapat dipastikan bahwa penyakit yang diidapnya adalah kanker darah. Semua indikasi sudah memenuhi kriteria itu.
Tetapi karena belum menjalani biopsi, maka tim dokter tidak boleh secara resmi memberikan pernyataan. Dan mereka juga bilang, bahwa biopsi hanya bisa dilakukan apabila pasien tidak dalam keadaan kritis.
Penjelasan lebih lanjut adalah selalu pilihan.
Mampu atau tidak melewati masa kritis. Kalau bisa lewat, kemungkinan pelo (seperti akibat stroke) atau lumpuh. Kalau tidak, kemungkinan bisa terjadi pecahnya pembuluh darah.
Kemudian ... kalau yang pecah di tubuh, maka masih terbuka peluang untuk melakukan pengobatan. Tetapi kalau yang pecah di otak ... maka tertutup sudah peluang apapun.
Artinya, kita tinggal menunggu mujizat Allah SWT.


Hari Minggu itu, ruang tunggu di muka Intermediate Care Unit/Intensive Care Unit penuh sesak oleh keluarga Ira. Aku sendiri sudah tidak mempunyai keluarga satupun lagi. Beberapa teman turut hadir menunggu perkembangan. Aku diperkenankan menunggu di dalam ICU untuk menyaksikan berbagai usaha dan upaya pertolongan terhadap Ira.
Anggota keluarga mulai diminta bergantian menjenguk ke dalam. Sampai kemudian aku disarankan untuk mengundang beberapa kerabat berdoa Sakratul Maut di sisi tempat tidur.
Menjelang Ashar, aku diminta oleh tim dokter mulai membimbing isteriku di telinga kanannya. Membimbing dalam artian spiritual religi. Berdiri di sisi kanannya sambil membungkukkan bibirku di telinga kanannya, aku memeluk tubuhnya yang kurus sekali dan dipenuhi dengan beberapa pipa pengobatan.
Aku terus membimbingnya sampai kemudian tanganku disentuh oleh seorang dokter sambil berbisik: "Pak, ibu sudah tidak ada ..." Dan aku baru sadar menengok ke monitor yang menunjukkan garis hijau datar.


Dokter mempersilahkan aku mencium isteriku, kemudian meminta kesediaanku untuk keluar ruangan karena tubuh isteriku akan dibersihkan terlebih dahulu. Ketika pintu ICU aku buka, semua mata rasanya menatapku dengan segudang pertanyaan. Dan bibirku hanya bisa berbisik: "Ira sudah tidak ada ........."


Jerit tangis mulai terdengar. Ayah mertuaku hampir pingsan. Ibu mertuaku menangis keras. Adik-adik iparku menangis. Semuanya. Yang kurasakan cuma dada yang sesak, tetapi air mataku tidak keluar, meskipun tanganku gemetar dan kakiku lemas. Yang aku sadari saat itu adalah, segera mengurus semua penyelesaian ke rumah sakit dan mengupayakan pengembalian isteriku ke rumah secepatnya. Aku masih sempat menelpon kerabat di rumah untuk memberitahukan perkembangan yang terjadi.


Petang hari itu menjelang Maghrib, jenazah sudah tiba di rumah. Semua keperluan sudah disiapkan oleh kerabat dan tetangga. Tamu mulai berdatangan. Keluarga jauh, kerabat, teman, kenalan dan lain-lain terus bermunculan hingga jauh malam hari. Beberapa sahabat tidak mampu menahan tangis mereka di sisi jenazah. Menjelang Subuh aku berbaring di lantai di sebelah jenazah, mencoba untuk beristirahat. Perasaanku tidak keruan. Aku tidak tahu apa yang mesti kukatakan. Persiapan untuk esok hari sudah dikerjakan. Jenazah akan di bawa ke masjid di kompleks, dan di-shalat-i sesudah shalat Dzuhur berjamaah.


Senin 11 Agustus 2003 - sebelum jenazah dimandikan, aku masih sempat menggendong putraku yang baru berusia 2.5 tahun ke hadapan jenazah. Aku bilang" "Say good bye to mami. Mami won't be with us anymore. She's going to Allah who will guide her." Dengan suara yang polos, si kecil cuma bilang: "Bye mami ..."
Tetapi kejadian itu cukup membuat semua yang hadir menangis lagi.
Siang itu isteriku dimakamkan. Yang membuatku kagum, hampir semua sahabatnya sejak TK, SD, SMP, SMA, ABA, LSPR, teman kerja dan teman main, semua hadir.
Air mataku belum bisa keluar. Meskipun badanku lemas tidak keruan. Salah satu adik iparku selalu menggandeng aku - "Sejak kemarin kamu tidak menangis, tetapi mata kamu sudah gelap. Aku cuma takut kamu jatuh pingsan!"


Dan malam itu adalah malam pertama tempat tidurku hanya dihuni oleh aku dan si kecil. Dia yang selalu bersamaku menonton televisi sampai jauh malam sudah tidak ada.


Ya Allah, ampunilah dosanya, limpahkan rakhmat kepadanya, hapuskanlah kesalahannya, muliakanlah tempatnya, lapangkanlah pintu surga baginya, maafkan segala kekeliruan dan kekhilafannya. Amin Ya Robbal Alamin.

No comments:

Post a Comment