Pertama kali saya menonton Holiday On Ice adalah ketika saya masih duduk dibangku sekolah, dan acaranya masih di Stadion Ikada Jakarta. Saya terpesona, terpaku, dan *nganga*. Bagi saya, itu adalah sebuah pertunjukan yang BUKAN MAIN.
Bertahun-tahun kemudian, ketika saya menggeluti profesi dan bisnis penyelenggaraan acara (event organizer), khususnya sektor pameran dan konvensi (PEO & PCO - dua sektor utama MICE industry), saya selalu dan seringkali merasa ditantang untuk kreatif ... kreatif ... kreatif!
Masih teringat beberapa pameran yang diselenggarakan oleh perusahaan tempat saya bekerja, sempat *ngerjain* beberapa menteri. Mis. pak Rachmat Saleh (Menteri Perdagangan) yang diminta menarik tambang kapal di hall D PRJ Monas - ketika tambang ditarik ada sebuah kotak besar terbuka tiba2 dan mengeluarkan asap dry ice disertai lampu2 follower & wing spot menyoroti sebuah wooden chair export quality; atau pak Hartarto (Menteri Perindustrian) yang diminta menggergaji sebuah wooden log (pakai portable bandsaw), dan ketika tali ikut terpotong, maka di ujung panggung terlepaslah jaring yang mengurung puluhan merpati dan balon (ini di teras Hall A-B-C Monas).
Kesemuanya berujung pada kreativitas yang berangkat dari alam imajinasi. Seorang eks menteri yang saya anggap (padahal dia tidak pernah tahu) sebagai salah seorang guru kreativitas saya adalah pak Joop Ave. Masih terngiang di telinga saya hingga detik ini, ketika beliau berkata: "Sebuah upacara pembukaan bukanlah sebuah seremonial biasa. Di sana ada news value dan promotion value. Jangan cuma hadirkan menteri buat membuka acara dengan memukul gong, menggunting pita dlsb. Mereka tidak digaji untuk mengerjakan itu. Tapi ciptakan sesuatu yang selalu - paling tidak - memiliki kedua value tadi."
Dua malam yang lalu, saya sempat *ngobrol* (melalui media Twitter) dengan seorang musisi kawakan Indonesia, mas Addie MS, yang saya kagumi sejak lama, ketika pernah menyaksikan pagelaran Twilite Orchestra dengan latar belakang kalau tidak salah sebuah pantai (saya lupa dimana dan tahun berapa). Sebetulnya awal obrolan ini saya mulai karena merasa *touched* obrolan beliau dengan beberapa rekannya tentang *nasib* musik klasik di Indonesia.
Selama sekitar 6 tahun bermukim di luar negeri dalam rangka tugas pekerjaan, saya banyak menimba peluang kreativitas yang sangat demokratis dan terbuka. Pekerjaan saya menuntut kemampuan itu, dan atasan maupun rekan dan bawahan saya (yang sebagian besar adalah orang asing) juga mempunyai apresiasi yang baik terhadap kreativitas (apapun). Itulah yang membuat saya menjadikan negara tsb menjadi 2nd hometown saya.
Kembali kepada obrolan saya dengan mas Addie MS - otak saya tergerak untuk berimajinasi. Dulu waktu saya di luar sana dan banyak traveling ke berbagai negara, saya sempat menyaksikan pertunjukan The Royal Ballet dengan tokoh Dame (sebuah gelar kebangsawanan Inggris Raya) Margot Fontaine. Padahal acara itu, Swan Lake, pernah saya saksikan melalui sebuah film ketika saya masih kursus bahasa Inggris di British Council era 60an. Juga kisah Red Shoes yang tragis dll.
Melihat Cantile nya mas Addie MS, melihat adanya orang2 yang masih peduli dengan musik dasar (saya sering sebut klasik sebagai musik dasar mungkin karena membaca not balok, sementara musik pop kalau tidak salah lebih akrab dengan not angka ... CMIIW) seperti Maylaffayza, kemudian seorang wanita cantik yang memainkan harpa (saya lupa namanya), lalu ada Ananda Sukarlan yang malah sekarang hidup di Eropa dan tetap setia pada profesi seninya. Kesemuanya mendorong rasa penasaran saya.
Saya coba membandingkan dengan sepinya pengunjung di pagelaran Ramayana yang dipertunjukkan di Candi Prambanan saat bulan purnama, atau merananya kesenian tradisional kita di berbagai daerah. Sementara saya lihat kesenian Jepang maupun Korea or even Turkey tetap maju dan bahkan mampu memadukan teknologi dalam aplikasinya (perpaduan harmonis antara tradisional dan modern).
Terlepaslah pertanyaan saya kepada mas Addie tentang kemungkinan adanya sebuah pagelaran ballet yang dipadukan dengan musical concert. Lho, kok malah kebetulan ada acara nya Just Alvin tentang Ali Topan The Musical (jenis ketiga sesudah Ali Topan layar lebar dan Ali Topan layar kaca) yang semakin membuat saya gregetan. Kan dulu mbak Titiek Puspa (hanya beliau yang saya anggap layak disebut Diva saat ini karena pengabdian beliau ke dunia seni suara sepanjang beberapa generasi) yang memotori kehadiran musical operette di TVRI? Setiap Idul Fitri dan akhir tahun, kita pasti disuguhi karya beliau bersama rekan-rekan PAPIKO nya. Jadi kalau sekarang ada musical drama/theater, kok rasanya wajar2 saja? Seperti ketika dulu saya berpeluang menyaksikan Jesus Christ Super Star dan West Side Story di sana.
Anyway, tokoh2 seperti Ary Tulang, Mira Lesmana dll adalah tokoh2 generasi muda yang patut diberi "standing ovation"!!!
Jawaban mas Addie MS menambah gregetan saya ..... Ballet? It's my dream! Sponsor? Let's dream! ......... LAH LAH LAH ....... kok ternyata para musisi kitapun seringkali *sesambat* ketika harus "menjual" ide untuk mendapatkan investor? Rupanya di sinilah kendala utama kita. Pemahaman tentang kesenian dan kebudayaan yang masih teramat cetek di kalangan para pebisnis, sehingga kalau ada seperti MANDIRI SEKURITAS yang mau terus menerus mendukung Twilite .... bisa-bisa disebut *kurang gawean*.
Let's go deeper ...
dulu saya punya kebiasaan di kantor maupun dirumah memiliki sebuah file yang saya beri nama MY CRAZY BANK OF IDEAS. Isinya? Berbagai ide yang saya muat sembarangan, alias acak kadul, asal nyatet, ngga peduli jadi atau tidak (who cares, only me probably) - from the most brilliant idea until the most ridiculous thought! Ada ide tentang bikin pertunjukan wayang sinar laser ke udara atau dinding bangunan yang audionya disiarkan lewat radio. Ada ide tentang pameran kelautan tetapi bikinnya di pantai Ancol sampai Kep Seribu (karena kesal kok pameran maritim adanya di JCC yang jauh dari pantai, semenntara Malaysia bikin pameran maritim di tepi pantai - kan kita pantainya lebih banyak/panjang). Ada ide tentang int'l convention yang digarap jauh dari formalitas, settingnya pakai teater arena format (idenya datang dari format kelas ketika pembedahan pertama kali diadakan oleh manusia), atau formatnya seperti panggungnya Shakespeare jaman dulu. Atau karapan sapi yang dikelola ala Ben Hur, jadi ada stadion megah yang fenomenal (karena sasarannya turis asing) tetapi balapannya karapan sapi. Pokoknya segala macam ide yang kadangkala kalau saya baca sendiri suka cekikikan karena geli (kok aku rodo edan yo???)
Saya membayangkan sebuah pagelaran ballet, katakanlah di JCC (stagenya di tambah double size), musiknya dengan living concert yang dilengkapi dengan beberapa specific soloist (harp, violin, entah apa lagi yang sesuai), seluruh state technology modern dipakai (seperti kalau untuk konser musik rock dll.), musiknya barangkali juga harus disesuaikan dengan perpaduan ini, interactve communication dengan audience bisa dilakukan, mis pemain yang muncul dari audience area (ingat bagaimana David Copperfield mentas), kisahnya bisa apa saja .... dari classical stories seperti Swan Lake, theatrical stories seperti Romeo & Juliet, sampai pada Indonesian Traditional Stories seperti Sumpah Palapa (jadi ingat waktu dulu ikutan lomba teater se Jakarta era 70an) yang heroik, atau kisah Pranacitra yang mellow, atau kisah Nyi Dayang Sumbi yang ironis. Apa saja.
Saya penasaran. Beberapa tahun y.l. hampir tidak ada anak muda yang suka dengan lagu jazz. Anak saya saja dulu pernah bilang "papah jadul sih". Padahal jamannya American Cultural Center ada di Jakarta (era 60an), musik jazz seringkali dipromosikan oleh mereka. Sekarang? Lihat saja Java Jazz Festival! Kayaknya dominasi anak muda lebih kuat daripada yang jadul2 kayak saya. Musik klasik lebih2 lagi. Almarhum ayah saya yang penggemar Bach dan Paganini seringkali kena *sindir* cucunya (masangnya pake piringan hitam berkecepatan 78, karena dulu ada yang 45 dan 33 1/3, era gramaphone). Sekarang? Yang comment pertunjukan mas Addie MS saya yakin tidak semuanya generasi middle-up of age (semi jadul dan jadul asli). Pasti generasi mudanya juga sudah cukup banyak.
Jadi wajar dong kalau saya bermimpi bahwa BALLET bisa mulai digarap? Somebody has to start it. Resikonya? Hahahaha .... kalau bisnis selalu mikir cari untung dan tidak berani menanggung resiko deficit, yah mendingan jangan bsinis deh. Nitip saja uangnya di bank nunggu bunga deposito roll-over.
Next question (or let say ... next problem?)
Bagaimana mengemas ide ini supaya *laku* di *jual* ke kalangan investor? Jangan cuma selalu bertopang pada pelestarian budaya, demi masa depan generasi muda dst ...... kuno! Say it in a better commercial way-of-thinking. Mereka (para pebisnis/investor) kan maunya untung? Tidak hanya financial profit, tetapi juga image, credibility, good corporate citizen looks, prestigious performance dlsb.
Bagaimana pagelaran ini bisa me*angkat* mereka ke suatu peringkat popularitas komersial atas kepedulian terhadap sebuah karya kesenian dan kebudayaan. Mau dipadukan dengan konsep "Wonderful Indonesia" nya pak Jero Wacik untuk 2011? Can do! Adakan di GWK Bali. Adakan di Teater Alam TransCorp Makassar. Ajak pemda setempat untuk bekerja, ada pembagian hasil buat mereka (PAD = pendapatan asli daerah). Ajak EO setempat untuk bergumul dalam kreativitas di lapangan.
Itulah mengapa saya menekankan kata sinerji pada tweets saya ke mas Addie MS. Tanpa sinerji, kerja sama, konsorsium usaha, sharing, cooperation, karya2 besar seperti ini sulit ada. Saya merindukan mas Guruh tampil lagi seperti ketika Swara Mahardhika jaya. Saya merindukan *standing ovation* bagi para seniman kita yang sudah memperlihatkan bukti nyata karya dan karsanya (bukan cuma OMDO, NATO, MEEDO, NAMO dll.).
Tema WONDERFUL INDONESIA sebetulnya bisa dimanfaatkan, asalkan saja kita juga bisa menyampingkan semua ego kita. Duduk bersama, bagi tugas sesuai otak dan kebisaan masing2. This is a wonderful country, isn't it? And we also have a huge collection of wonderful art & cultural.
Ingat, waktu yang tersedia agak mepet, 2014 kita sudah akan disibukkan dengan political events. Jadi cuma 2012-2013!
Kapan ya ada ice skating atau roller blade dengan cerita Damarwulan, musiknya rock tapi pake orchestra? Jadi ingat dulu waktu terlibat dengan Ratna Sarumpaet Satu Merah Panggung di Teater Terbuka TIM .... HAMLET ala Batak! She is one creative woman!
Mungkin kuncinya ... KEEP CREATIVE, CONSUMER ORIENTATION WAY OF THINKING, jangan malu untuk berfikir COMMERCIAL, SCRAP ALL EGO, SHARE ALL SKILLS & IDEAS, MAINTAIN ALL IMAGINATION, DREAMS, HAVE A STRONG MOTIVATION, dan KEEP OUR COMMITMENT!
(maaf kalau tulisan ini tidak sistematis, jadi kalau yang membaca adalah seorang penulis sejati, saya pasti sudah dicoret ngga lulus karena belepotan, tapi kalau yang membaca mau ikutan *ngedan* dengan saya ......... welcome to the jungle).
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment