Sent: Friday, March 18, 2011 5:39 AM
Subject: Dengarlah anakku
"Dengarlah anakku: Ayah mengatakan hal ini dihadapanmu ketika kau sedang tertidur pulas. Kau letakkan tanganmu yang mungil di bawah pipimu, beberapa helai rambutmu yang pirang menempel di dahimu yang basah. Ayah diam-diam memasuki kamarmu. Beberapa saat yang lalu, ketika Ayah membaca buku di kamar kerja, tiba-tiba ayah dihantui rasa penyesalan yang mendalam. Oleh karena itu, sekarang ayah datang, duduk disampingmu dengan perasaan penuh dengan dosa.
Wahai anakku, selama ini tidak terpikirkan olehku bahwa ayah telah bertindak ketus dan bersikap keras terhadapmu. Ayah membentakmu sewaktu kau memakai pakaian ketika kau hendak sekolah karena kau hanya mencuci muka saja. Ayah dibuat kesal olehmu karena kau tidak membersihkan sepatumu. Ayah berteriak marah-marah sewaktu kau terlantarkan mainanmu dilantai.
Pada waktu sarapan Ayah mendapatkanmu berbuat kesalahan juga. Kau tumpahkan makananmu, kau bunyikan meja dengan sikumu, kau cela makananmu. Keju yang kau taruh di roti terlalu tebal. Dan sewaktu kau masih bermain-main sedangkan ayah sudah bersiap berangkat bekerja hendak ke stasiun kereta api, kau membalik sambil melambaikan tangan dan berseru, "Selamat jalan Ayah!" Aku balas dengan cemberut lalu kukatakan, "Berdirilah yang tegak!"
Di sore hari, terjadi lagi ketegangan. Sewaktu ayah berjalan pulang menuju rumah, ayah melihat kau sedang bermain kelereng sambil berlutut. Kulihat kaos kakimu berlubang. Kau kupermalukan di depan teman-temanmu dengan mendorongmu berjalan pulang di depanku. "Kaos kaki itu mahal dan andaikan kau membelinya dengan uangmu sendiri, kau pasti akan berhati-hati!" Bayangkan wahai anakku apakah itu tindakan ayah yang baik?
Ingatlah kau -setelah itu- waktu ayah membaca di kamar kerja, lalu kau datang melongok dengan wajah yang murung, kau bolak-balik melongok ke kamar membuat ayah terganggu dan tidak konsentrasi dalam membaca sehingga aku membentakmu, "Mau apa?" Kau menjawab, "Tidak mau aoa-apa." Tetapi setelah itu kau lari menghampiriku dan merangkulku kuat-kuat lalu menciumku. Kedua lenganmu yang mungil merangkulku dengan kuat penuh kecintaan dari lubuk hati yang paling dalam, cinta yang tidak pernah layu dari seorang anak kepada ayahnya, meskipun aku memperlakukanmu dengan keras. Setelah itu kau berlari dan naik ke latai atas.
Baik, anakku, tidak lama sesudah itu, bukuku terjatuh dari tanganku dan tiba-tiba ayah diliputi perasaan takt yang sangat dan merasa jijik terhadap diriku sendiri. Apa hasilnya dari kebiasaan burukku itu? Kebiasaan mencari-cari kesalahan, bersikap keras, inikah hadiah dari seorang ayah kepada anak yang masih kecil sepertimu? Tindakan kasarku bukan karena aku tidak mencintaimu, melainkan ayah menuntut terlalu banyak darimu. Ayah mengukur dirimu dengan ukuran orang dewasa.
Sungguh banyak sifat-sifat terpuji dalam kepribadianmu. Hatimu yang kecil bagaikan cahaya fajar yang menyinari cakrawala yang luas. Ini nampak ketika kau menghampiriku secara spontan dan emnciumku sebelum tidur. Yang ayah pikirkan malam ini hanyalah dirimu. Ayah berada di sisimu dalam kegelapan, duduk belutut, malu pada diriku sendiri!
Ini sedikit upaya untuk menghapus kesalahan, ayah tahu kau tidak akan mengerti semua ini jika kukatakan kepadamu. Tetapi besok aku akan menjadi seorang ayah yang sesungguhnya, aku akan bersahabat denganmu, emnderita bila kau menderita, sedih jika kau sedih dan ikut bergembira jika kau gembira. Lidahku akan kutahan, kalau ada perbuatanmu yang membuatku kesal. Ayah akan terus mengucapkan suatu kalimat yang akan kujadikan sebagai moto, 'Maklum, ia masih anak-anak.'
Ayah takut emmperlakukanmu sebagai orang dewasa sebagaimana sikapku selama ini kepadamu. Tapi, ketika aku memandangimu sekarang ini, wahai anakku, tidur meringkuk di kasurmu, aku memandangmu, kau adalah anak kecil. Sepertinya baru kemarin kau digendong ibumu, kepalamu menempel dibahunya. Ayah telah menuntutmu terlalu banyak, ayah telah menuntutmu terlalu banyak."
(Kaifa Tuatstsiru 'alaa al-Aakhariin wa Taktasibu Al-Ashdiqaa', hal 18-20)
Disalin dari buku :29 pelajaran berharga dari kisah Da'i Cilik", Fariq Gasim Anuz.
"Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik kepada keluarganya..." [HR at-Tirmidzi dan Abu Dâwud].
No comments:
Post a Comment