Saling berlomba untuk memperebutkan kedudukan atau jabatan kini makin marak di mana-mana. ''Penyakit'' tersebut menimpa semua golongan dan lapisan. Tokoh agama melawan tokoh agama, politisi melawan politisi, pedagang melawan pedagang, dan sebagainya. Padahal karunia Tuhan begitu banyaknya, sehingga takkan habis kalau ''diperebutkan' ' secara adil. Allah berfirman: Andaikata kamu hitung kenikmatan Allah, sungguh kamu takkan mampu melakukannya ( Q.S. 14: 34).
Perihal kedudukan ini, barangkali ada baiknya bila kita menyimak kembali dialog antara Khalifah Harun al-Rasyid dengan seorang penasihatnya. Suatu ketika, Khalifah Harun al-Rasyid yang dikenal dekat dengan para ulama, mengunjungi salah seorang penasihatnya.
''Tuan guru,'' kata Khalifah, ''sudah banyak ulama lain memberi peringatan, dan tak sedikit pula yang menyampaikan kabar gembira. Tapi sepatah pun belum pernah saya dengar dari Tuan. Hati saya belum puas rasanya.''Ulama yang arif itu terdiam, sesudah berpikir sejenak lalu menjawab, ''Bolehkah saya minta air putih dulu? Secawan untuk saya dan secawan untuk Tuan Khalifah.''
Permintaan itu membuat Harun Al Rasyid keheranan. Namun segera ia perintahkan pelayan menyediakan dua cawan air putih. Sesudah tersedia di meja, sang ulama yang bersahaja itu menyuruh Al Rasjid menghirupnya. Tapi, tiba-tiba, sebelum cawan tadi menyentuh bibir Khalifah, penasihatnya mencegah dan bertanya, ''Maaf Amirul Mukminin. Tahan sebentar, jawab dulu pertanyaan saya. Andaikata di suatu padang pasir yang gersang, matahari seolah bertengger di ubun kepala, sedangkan Tuan tidak mempunyai persediaan air, sehingga tak berapa lama lagi bakal mati sengsara, apa yang Tuan lakukan apabila tahu-tahu ada seorang musafir menawarkan air dengan syarat harus Tuan bayar berupa singgasana dan kekayaan Tuan?''
Tanpa berpikir panjang Harun Al Rasyid menjawab, ''Dalam keadaan seperti itu, separuh kerajaan pun akan saya serahkan.''
Guru itu tersenyum. ''Nah, minumlah air yang di cawan itu sampai habis.'' Al Rasyid menurut. Kemudian sang Guru melanjutkan, ''Air di cawan tersebut sudah masuk ke dalam perut Tuan. Sesudah itu Tuan mendapat kesulitan besar, karena tidak bisa buang air kecil sampai berhari-hari. Seandainya dalam kesakitan itu ada yang mampu mengobati dengan syarat Tuan harus menyerahkan separuh kerajaan yang tersisa, apakah Tuan bersedia?''
Kembali tanpa ragu-ragu Al Rasyid menjawab, ''Biarlah saya menjadi rakyat biasa tanpa kekuasaan asalkan sehat walafiat.'' Sang ulama pun tersenyum. ''Karena itu saya heran, mengapa orang-orang alim saling menjegal dan memfitnah hanya untuk menduduki kursi pemimpin. Apakah jabatan lebih penting dari kehidupan?'' - ahi
(Dari: Berebut Kedudukan oleh K.H. Abdurrahman Arroisi - Buletin Dakwah #339)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment